Kamis, 31 Oktober 2013

PBNU Gelar Dialog Publik Terkait Kisruh DPT

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar dialog publik, Kamis (31/10), terkait kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) menyusul penundaan penetapan daftar pemilih dari tanggal yang ditetapkan sebelumnya 23 Oktober 2013 serta temuan 14 juta daftar pemilih bermasalah.

Dialog yang diadakan di auditorium utama kantor PBNU, Jakarta Pusat dihadiri oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik, Anggota Bawaslu Daniel Zuhron, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo, dan Koordinator JPPR M. Afifuddin.

Wakil Ketua Umum PBNU Kh As’ad Said Ali dalam sambutan pengantarnya mengatakan, kegiatan diadakan berdasarkan pengaduan dari masyarakat terkait kerawanan penyelenggarakan pemilu 2014 mendatang. Kerawanan ini terutama terkait DPT dan proses penghutungan suara.

“Forum ini bukan tandingan DPR. NU sebagai rumah besar ingin menampung semua,” kata As’ad.

PBNU mengingatkan bahwa penggunaan hak pilih merupakan bentuk partisipasi paling dasar dalam sistem demokrasi perwakilan yang sedang dikembangkan.

“Maka benar-benar harus diwaspadai kemungkinan hilangnya hak dan kesempatan warga untuk mengguakan hak pilihnya lantaran terkendala daftar pemilih yang tidak akurat,” kata As’ad.

Ditambahkan, KPU, Bawaslu dan Kemendagri perlu menggandeng pemangku kepentingan dari kalangan masyarakat sipil.

“Keterlibatan berbagai stakeholders ini penting untuk menjamin bahwa pemilu 2014 ini memang merupakan hajatan bersama untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas,” tambahnya. (A. Khoirul Anam)

NU Diminta Bantu Pecahkan Masalah DPT

Daftar pemilih tetap (DPT) yang rencananya ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4 November 2013 dinilai belum sepenuhnya valid dan akurat. Karena kompleksnya persoalan, proses pemutakhiran seyogianya melibatkan semua pihak, termasuk ormas Islam seperti NU.

Imbauan ini disampaikan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dalam “Dialog Mencari Solusi Kisruh DPT Bersama PBNU” di auditorium utama kantor PBNU, Jakarta, Kamis (31/10).

Hadir pula sebagai pembicara Ketua KPU Husni Kamil Malik, anggota Bawaslu Daniel Zuhron, Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo, dan Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifuddin.

Menurut Irman, DPT bisa dikatakan benar-benar akurat ketika ada kesesuaian data antara Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) Kemendagri dan DPT yang ditetapkan KPU. Sementara saat ini, ada sekitar 20,3 juta nama yang ada dalam DPT tapi tidak tercantum dalam DP4.

Irman menilai sejumlah kesalahan data ini “wajar”, mengingat banyaknya nama penduduk yang harus dicatat, luasnya wilayah Indonesia, dan kesiapan KPU yang tergolong singkat. Karena itu, kerja sama dari pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan.

Daniel Zuhron dalam kesempatan yang sama juga meminta PBNU berpartisipasi dalam upaya pemutakhiran DPT agar akurasi dan validitas data dapat dipertanggungjawabankan. “PBNU dan organisasi masyarakat lain perlu turut menangani jumlah DPT bermasalah yang begitu besar yang barang kali bisa disentuh dengan pendekatan sosio-kultural,” katanya.

Dalam sambutan pengantar, Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali menegaskan bahwa pemilu 2014 harus berjalan sukses. Sebagai masyarakat sipil, NU akan selalu mengawasi dan membantu karena hal ini menyangkut hak konstitusional warga dan legitimasi kepemimpinan.

“Kami juga meminta anak muda NU yang ada di Depdagri, KPU, agar dapat mengemban tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.

Selaku Ketua KPU, Husni Kamil lebih banyak menyoroti kesulitan-kesulitan teknis yang dihadapi KPU selama di lapangan. Menurut dia, persoalan akurasi DPT juga berhubungan dengan masalah kebudayaan masyarakat di daerah tertentu, yang tak dapat diselesaikan hanya mengandalkan variabel data administrasi.

“Saya berterima kasih, masalah yang menyangkut kedaulatan negara ini dapat difasilitasi PBNU sebagai organisasi terbesar di Indonesia,” tuturnya. (Mahbib Khoiron)

Pilkades di Kecamatan Didominasi Kader NU

Bursa pencalonan pemilihan kepala desa (pilkades) di 10 desa di Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, didominasi para kader Nahdlatul Ulama. Hal ini dinilai wajar mengingat Nahdliyin di Rembang tergolong mayoritas.

Ketua Majelis Wakil Cabang NU (MWCNU) Sale Masyhudi, Selasa (31/10), mengatakan, pihaknya mendukung keinginan para kader untuk masuk di jajaran pemerintahan, termasuk di tingkat desa.

Warga Desa Ngading, Sale, ini juga menghormati bendahara MWCNU Sale, Mas’ud menjadi bakal calon tunggal kepala desa di Desa Tahunan.

Menurut Masyhudi, kader NU siap terjun mewarnai sepuluh desa tengah yang menggelar pilkades dari total 14 desa yang ada. Mereka menanggung beban tanggung jawab untuk berkhidmat dan menjalankan khittah NU.

Dia juga berpesan, para kader yang mencalonkan diri harus siap untuk menang ataupun kalah. Mereka juga dituntut untuk bisa menjadi panutan di daerah yang penduduknya 80 persen warga NU itu. (Ahmad Asmu’i/Mahbib)

Ulama Mesti Tahu Tingkat Pemahaman Umatnya

Pola penyebaran Islam di masa Wali Songo berjalan, salah satunya karena dengan model akulturasi dengan budaya lokal. Dengan cara tersebut, justru banyak masyarakat yang simpati dan kemudian memeluk Islam.

Model dakwah di atas menandakan, Wali Songo paham akan medan dakwah. Mereka juga tahu bagaimana cara yang efektif untuk memasukkan Islam, dengan pemahaman yang minim dari masyarakat terhadap Islam saat itu.

“Sebagai seorang pendidik harus bisa memahami tingkat pemikiran pendengarnya. Jadi cara mendidiknya juga dengan cara berbeda,” terang KH Ahmad Muwafiq, pada sebuah acara pengajian di Masjid Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten, belum lama ini (27/10).

Kiai asal Lamongan tersebut mencontohkan ada di zaman sekarang, ada beberapa ulama yang menggunakan media musik, wayang, lagu pop religi, tembang Jawa sebagai alat untuk menyampaikan Islam. “Jadi cara apapun tidak masalah, yang penting tetap pada syariat,” tuturnya.

Menurutnya, sebagai seorang pendidik umat, ketika memberikan peringatan kepada umat ada baiknya dengan menggunakan cerita hikmah dan nasehat baik. “Tidak secara langsung melarang, menggunakan (vonis) bid'ah, masuk neraka,” imbuhnya. (Ajie Najmuddin/Abdullah Alawi)

Kamis, 24 Oktober 2013

Arab Saudi tidak menerima keanggotaan Dewan Keamanan PBB

Untuk pertama kalinya, Saudi Arabia pada Kamis lalu menduduki anggota non permanen Dewan Keamanan PBB bersama dengan Chad, Chile, Lithuania dan Nigeria yang memperoleh kursi melalui sebuah pemilihan.

Namun demikian, hanya beberapa jam setelah kemenangan tersebut, Menlu Arab Saudi mengumumkan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak akan menerima keanggotaan Dewan Keamanan selama dua tahun tersebut, sambil menyebutkan kegagalan badan PBB ini dalam mengatasi sejumlah permasalahan regional seperti pembunuhan massal di Suriah dan ketidakmampuan untuk membersihkan wilayah ini dari senjata pemusnah massal.

Bahkan sebelum pengumuman dari pemerintah Saudi, seorang pakar yang berbicara pada Al Arabiya News menyebutkan, bahwa meskipun memiliki pengaruh besar dalam bidang agama dan ekonomi, Saudi akan menghadapi banyak hambatan di Dewan Keamanan. Semua dari lima anggota sementara hanya memiliki kekuatan terbatas karena tidak memiliki hak veto, yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh lima anggota Dewan Keamanan yang permanen, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan China.

Afshin Molavi, seorang peneliti di the New America Foundation, sebuah lembaga pemikiran dan kebijakan publik yang berbasis di Washington mengatakan “Dalam berbagai isu besar seperti masalah Iran, Suriah dan senjata kimia, saya pikir lima besar masih dapat bertindak dalam berbagai cara.”

Meskipun demikian, kursi dari 15 anggota dewan masih dinilai berharga karena para anggota dapat mempengaruhi perdebatan dalam masalah internasional seperti krisis Suriah dan sanksi pada Iran dan Korea Utara.

“Pengaruh Saudi masih dapat dipertimbangkan karena pertimbangan ekonomi dan politik di Timur Tengah dan isu ekonomi di dunia,” kata David Ottoway, ilmuwan senior di Woodrow Wilson Center di Washington, D.C pada Al Arabiya News.

Pengaruh terbatas

Namun demikian, seberapa besar pengaruh yang didapat Saudi Arabia, jika dia tetap bertahan di Dewan Keamanan- jika mempertimbangkan hanya memiliki satu kursi diantara 15 anggota lainnya.

Untuk meloloskan sebuah resolusi, Dewan Keamanan harus memperoleh persetujuan dari sembilan anggota, termasuk lima anggota permanen.

Ottoway menegaskan bahwa kekuatan dari anggota non permanen seperti Saudi Arabi “benar-benar terbatas”.

“Setiap anggota Dewan Keamanan dapat memunculkan isu-isu yang spesifik tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh anggota tetap dan ini tidaklah mudah,” tambahnya.

Lippman memberi catatan bahwa lima anggota tetap berusaha “mendominasi” atas anggota lainnya. “Jika 14 anggota setuju, tetapi Rusia tidak, tak akan berarti apa-apa,” kata Lippman.

Alon Ben-Meir, seorang professor di Center for Global Affairs New York University percaya bahwa kekuatan Saudi di Dewan Keamanan mungkin dari kemampuannya membentuk aliansi dengan negara-negara lain yang terpilih.

Empat negara lain, Nigeria, Lithuania dan Chile “Dapat saling bekerjasama dengan Saudi,” kata Ben-Meir pada Al Arabiya News.

“Sehingga mereka dapat membentuk sebuah kelompok dan sebagai satu kelompok, mereka dapat memiliki penaruh yang lebih besar pada musyawarah di Dewan Keamanan,” kata Ben-Meir.(mukafi niam)
Foto: Huffingtonpost

AS Sadap Telepon 35 Pemimpin Dunia

Mata-mata Amerika Serikat menyadap pembicaraan telepon 35 pemimpin dunia setelah Gedung Putih, Pentagon dan para Pejabat Departemen menyerahkan nomor-nomor telepon itu kepada badan itu, menurut laporan The Guardian, Kamis.

Sebuah dokumen rahasia yang dirilis oleh buronan pembocor data intelijen Edward Snowden menyebutkan, Badan Keamanan Nasional (NSA) bekerja sama dengan "pelanggannya" yaitu sejumlah departemen pemerintah Amerika Serikat untuk mencari nomor telepon politisi asing terkemuka, lapor AFP.

Seorang pejabat Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya menyerahkan 200 nomor, termasuk nomor telepon para pemimpin dunia yang segera "digarap" untuk diawasi oleh NSA, menurut dokumen itu.

Pengungkapan terbaru itu muncul di tengah kehebohan atas tuduhan bahwa Amerika Serikat telah menyadap telepon genggam Kanselir Jerman Angela Merkel dan setelah laporan jika NSA telah memantau komunikasi pemimpin Brasil dan Meksiko.

Gedung Putih telah menolak untuk menyebutkan apakah pihaknya menyadap Merkel di masa lalu menyusul meluasnya kecaman di Jerman.

Memo NSA yang dikutip oleh The Guardian menunjukkan jika pengawasan tidak terisolasi dan badan itu secara rutin melacak nomor telepon dari para pemimpin dunia.

Sebuah memo pada 2006 beredar di kalangan staf di Direktorat Sinyal Intelijen berdasarkan judul "Para Pelanggan Dapat Membantu Memperoleh SID Nomor Telepon Target", yang menggarisbawahi jika agen bisa memperoleh informasi kontak yang dikumpulkan oleh para pejabat di cabang lain dari pemerintah.

"Dalam satu kasus baru-baru ini," memo itu mencatat , "seorang pejabat Amerika Serikat memberi NSA 200 nomor telepon 35 pemimpin dunia.

"Terlepas dari fakta bahwa mayoritas mungkin diperoleh dari sistem Open Source, PCs sebelumnya mencatat 43 nomor telepon tidak dikenal. Nomor telepon itu ditambah beberapa yang lain telah digarap."

Memo itu namun mengakui, jika, penyadapan itu telah menghasilkan "sedikit laporan intelijen".(antara/mukafi niam)

Umat Islam Bersatu Jika Didukung Nasionalisme

Islam dan Nasionalisme mesti saling mengisi dan melengkapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab hal itu mampu menjaga keutuhan Tanah Air dari perpecahan antarkelompok.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj di Pesantren Ats-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta, Sabtu (19/10).

"Di sana bom meledak terus, karena tidak ada komitmen cinta Tanah Air. Orang Afganistan itu 100 persen Islam, Somalia 100% agamanya Islam, tapi Islam belum bisa  menyatukan mereka, yang bisa menyatukan mereka kalau Islam didukung dengan nasionalisme. Jadi walaupun kita beda partai, beda arah, ingat tentang tujuan menyelamatkan bersama negara ini," papar Kiai yang akrab disapa Kang Said ini.

Kang Said pun menegaskan bahwa KH Hasyim Asy'ari mempunyai jasa besar dalam mempertahankan negeri ini dengan membuat sebuah keputusan dalam Muktamar NU pada tahun 1936 di Banjarmasin yang menyatakan  bahwa Ukhuwah Islamiyah harus bersinergi dengan Ukhwah Wathaniyyah.

"Islam bisa besar kalau didukung oleh semangat nasionalisme. Nasionalisme menjadi baik kalau diberi semangat ruhul islam, itu jasanya Mbah Hasyim itu, dulu kan orang Islam masih ingin negara Islam. Kalau kata NU tidak, yang penting merdeka dulu, bersatu dulu, ayo kita mengusir penjajah, setelah itu Islam bagaimana? Diamalkan, tidak usah dikonstitusikan, tapi diamalkan, itu (jasanya,-red) Mbah Hasyim itu," terangnya

Menurut Kang Said, Indonesia bisa menjadi contoh, walaupun masyarakatnya berbeda-beda organisasi atau partai politik namun hal itu selalu disinergikan dengan nasionalisme sehingga perbedaan yang ada tidak sampai menjadi ajang perpecahan dan pertumpahan darah seperti yang terjadi di Afghanistan dan Somalia. (Aiz Luthfi/Mahbib)

Muslimat NU Upayakan Penceramah Berkualitas



Pimpinan Cabang Muslimat NU Jember berupaya untuk mencetak da’i da’iyah berkualitas. Untuk tujuan itu, ibu-ibu NU itu menggelar lomba khitobah (pidato). Lomba digelar di aula PCNU Jember dan RS. Muna Parahita.

Kegiatan tersebut digelar selama dua hari dengan melibatkan 25 orang. Mereka utusan dari 25 Anak Cabang (Ancab) Muslimat NU.

Sekretaris PC. Muslimat NU Jember, Dra. Emi Kusminarni mengatakan, lomba tersebut dimaksudkan untuk mencari bibit sekaligus meningkatkan keterampilan para da’i putri, sehingga mampu menjadi da’i yang handal dengan ciri khas ke-NU-an.

“Mereka adalah aset kita dan harus dibina agar dapat menjadi corong Islam ala Ahlissunnah wal Jama’ah,” tukasnya di sela-sela pembukaan lomba di aula kantor PCNU Jember, Rabu (23/10).

Emi menamhakan, sebenarnya bibit-bibit muda da’i putri punya potensi yang bagus untuk dikembangkan, namun kurang pembinaan dan kurang kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya. Karena itu, kata Emi, pihaknya ke depan berencana untuk mengadakan pelatihan bagi dai-da’i muda putri. “Kemampuan mereka bagus, perlu dibina,” ujarnya.

Dalam lomba tersebut, utusan Ancab Muslimat Kalisat atas nama Rodiyatul Imamah meraih juara pertama, disusul Nur Kholifah dan Maryam sebagai juara dua dan tiga. Masing-masing dari Ancab Muslimat Ambulu dan Mayang. (Aryudi A. Razaq/Abdullah Alawi)

Mengelola Kebebasan Beragama



Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan tentang kebebasan beragama dan untuk menjalankan kepercayaan agamanya menurut keyakinannya masing-masing. Kebebasan demikian, pada pasca reformasi semakin ditegaskan melalui sejumlah instrumen hak asasi manusia, yang di dalamnya dapat dikatakan semua instrument internasional tentang hak asasi manusia telah diadopsi. Lalu apa soalnya, mengapa selama era reformasi konflik dan kekerasan agama justru semakin marak?
Akar Konflik
Banyak pandangan mengenai ini. Sebagian mengaitkan akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah. Sekilas kesannya terlalu politis. Namun Neli Todorova pernah membuktikan dalam penelitiannya mengenai masyarakat Turki di Bulgaria (2000). Yang lebih mendasar, bahwa fakta itu berhubungan dengan kenyataan struktural, yakni adanya kesenjangan, terutama mengenai visi tentang kebebasan, yaitu antara norma ideal yang diinstitusionalisasikan dengan realitas sosiologisnya: norma yang diinstitusionalisasikan bersifat sekuler, yang berakar dari paham individualisme-liberalisme; sementara realitas sosiologisnya melandaskan pada semangat komunalisme, yang lebih menekankan pada tujuan terbentuknya kebaikan komunitarian untuk menuju harmoni.
Argumen demikian ada benarnya, sebab masing-masing kebudayaan itu ditandai oleh keanegaraman internalnya, yang berhubungan dengan sistem kepercayaannya. Kebebasan berekspresi di Barat misalnya, jelas berbeda dengan Timur, seperti Indonesia, yang kulturnya, meminjam istilah Joel L.Kraemer (1986), bersifat ensiklopedis, yakni budaya yang beragama. Itu pula sebabnya pada tahun 1990 Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan Deklarasi Kairo mengenai HAM, sekalipun sebelumnya, pada tahun 1948, PBB telah mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights. OKI keberatan, terutama Arab Saudi, terutama pada Pasal 16 mengenai perkawinan antar agama, dan Pasal 18 mengenai hak untuk berpindah agama. Sementara negara-negara sosialis keberatan karena menilai terlalu sarat dengan nilai-nilai liberal.
Jika kita perhatikan konflik dan kekerasan agama yang selama ini terjadi di Indonesia, di sana  kita menemukan fakta bahwa dalam setiap konflik tersebut mempunyai modus operandi yang sama, selalu ada pemicunya, dan pemicu itu bernuansa provokatif. Konflik tersebut sepenuhnya merupakan produk dari pergaulan biasa sehari-hari antar manusia. Ini bukan reduksi. Seperti kita saksikan, sebabnya bisa sekedar karena merasa terganggu, adanya hujatan atas sistem kepercayaan yang dianutnya, hingga soal-soal eksklusivitas. Jelas ini berhubungan dengan soal ekspresi, bukan substansi, tidak lebih mendalam dari itu. Persis sama dengan kekerasan komunal lainnya yang bersumber dari isu ras, etnik dan ekonomi, yang pernah terjadi selama ini.
Memang dalam struktur konfliknya terdapat faktor yang bersifat latent, yakni perbedaan keyakinan. Namun, hal demikian jangan kemudian dijadikan dasar bahwa diantara mereka ada perbedaan tajam mengenai visi hidup bersama. Jangan diabaikan, bahwa keragaman keyakinan demikian sudah menjadi kenyataan hidup yang diterima oleh bangsa ini, bahkan telah berlangsung turun temurun. Prasangka yang muncul, yang secara teoritis disebut sebagai faktor pendorong konflik —karena di dalamnya aspek emosi memainkan peran dominan yang melahirkan syakwasangka—  bukan sepenuhnya dibentuk oleh perbedaan keyakinan. Ada faktor-faktor kondisional yang lebih memungkinkannya, yang bersumber dari gejala sehari-hari. Seperti, semakin melebarnya jarak sosial (social distance), melemahnya relasi  antar kelompok keyakinan agama, dan (ini yang lebih mendasar) tiadanya batas-batas yang jelas menyangkut hak-hak antar kelompok keyakinan agama itu. Celakanya, ketiga-faktor ini bekerja dalam ruang sosial dimana kebebasan yang dihayati oleh masyarakat (pasca reformasi ini), dan dalam pelaksanaannya selama ini, masih disertai immaturityatau ketidakmatangan. Maka dalam interaksi antar kelompok keagamaan yang muncul akan selalu diwarnai satu sama lain merasa selalu ada ancaman terhadap nilai, norma dan kepercayaannya; akibatnya mudah memicu  tindakan-tindakan liar.
Dengan sebab-sebab sosiologis sedemikian itu, maka sesungguhnya pula kasus  perusakan makam cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VI,  Kiai Ageng Prawiropurbo —atau beberapa kasus serupa sebelumnya seperti perusakan tempat hiburan—  akarnya tidak bisa dialamatkan pada doktrin agama yang dianut oleh para pelakunya. Doktrin amal ma’ruf nahi munkar, yang menjadi alasan teologis tindakan agresif itu, ketika berubah menjadi doktrin kekerasan (perusakan makam atau tempat hiburan), jelas ada hubungannya dengan faktor-faktor kondisionalnya. Faktanya, golongan lain yang juga memegang teguh doktrin tersebut,  tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian, untuk mencegahnya, yang dibutuhkan adalah kehadiran negara di tengah masyarakat. Tujuannya untuk memungkinkan segala hal yang bersifat kondisional menjadi terkelola. Itulah mengapa dalam Islam, seperti dikatakan Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah, adanya pemimpin (atau negara) adalah sebuah keharusan, yaitu untuk memungkinkan tegaknya keadilan dan kemaslahatan. Sekarang ini, kenyataannya, negara sepertinya absen atau tidak aktif hadir di tengah masyarakatnya. Bahkan, kesannya, segalanya seakan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme demokrasi. Maka pada sisi ini tesis Neli Todorova di atas tampaknya mendapatkan pembenarannya. Penting diingat, tanpa ditegakkannya konstitusionalisme, sebagai wujud kehadiran negara di tengah masyarakat, demokrasi bisa berubah menjadi anarki.
Mengelola Kebebasan
Bagaimana kebebasan beragama semestinya dikelola? Jaminan konstitusi memang satu hal yang harus ada, dan konstitusi kita telah menjaminnya. Adalah salah jika implementasi dari amanat konstitusi tersebut bentuknya sekedar membebaskan saja warga negara untuk memeluk agamanya. Dalam konteks konstitusi itu, kebebasan (beragama) adalah sesuatu yang given, yang dengan sendirinya memang akan demikian, karena konstitusi mendeklarasikan seperti itu. Sedangkan kepada negara adalah mandat untuk menjamin kebebasan beragama itu menjadi kemestian.
Dengan mandat seperti itu, artinya negara harus aktif  hadir di tengah masyarakat untuk menjaga pelaksanaan kebebasan beragama. Secara konvensional dengan melakukan penindakan atas pelanggaran yang terjadi, dan pada derajat yang lebih maksimal melakukan tindakan preventif. Ini metode lama. Tetapi jika negara hanya menekankan pada tindakan yang disebut pertama, sementara yang kedua diserahkan sepenuhnya secara buta kepada rakyat  pada mekanisme demokrasi, maka hasilnya seperti selama ini: akan terus bermunculan dan saling susul menyusul kasus-kasus konflik dan kekerasan agama.
Saya kira konflik dan kekerasan komunal lainnya yang selama ini terjadi, termasuk maraknya kriminalitas, juga disebabkan faktor tersebut: kurang maksimalnya tindakan preventif. Perlu disadari bahwa negara bukanlah petugas pemadam kebakaran, baru bertindak ketika peristiwa terjadi; tetapi bahwa negara pada dirinya itu melekat tanggungjawab etis untuk menjaga agar kebakaran tersebut tidak pernah terjadi. Jika tidak, dan rasa aman hilang di tengah masyarakat, maka pada saat itu pula negara kehilangan kredibilitas dan legitimasi etisnya, sebab untuk tujuan etis itu negara didirikan.
Memaksimalkan tindakan preventif sebagai pilihan jelas tidak boleh mengandung ekses kontraproduktif terhadap tujuan-tujuan etis demokrasi. Sebaliknya, justru pada tumbuhnya kehidupan demokratis itu visi tindakan preventif harus diletakkan. Seperti inilah semestinya tindakan preventif itu dilakukan agar kita tidak mengulang sisi kelam sejarah masa lalu kita. Ini memang tidak mudah, dibutuhkan  paradigma baru dengan kepemimpinan yang memiliki kemampuan memahami kedalaman logika dan visioner dari setiap peristiwa dan tantangan bangsa ke depan, jika tidak ingin negeri ini terjatuh pada kebingungan, perpecahan dan anarkisme.
Dengan visi seperti itu, hal mendasar terhadap kebijakan tindakan preventif adalah sepenuhnya harus diorientasikan pada terjaganya ruang kebebasan beragama. Namun jangan diabaikan bahwa semua itu harus dilandaskan sesuai norma atas dasar bangunan masyarakat yang disusun sesuai rencana dan cita-cita komunitarian bangsa ini. Untuk maksud tersebut, pertama yang penting dilakukan adalah menghilangkan ancaman atas relasi yang dapat menghancurkan kepercayaan dan keadilan antar kelompok masyarakat. Maka, pada tingkat masyarakat, mempromosikan dan membangun kesepakatan membentuk code of conduct atau kode etik di antara kelompok/ormas agama dapat menjadi instrumen penting, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keseharian tentang keberadaan masing-masing kelompok dan cara-cara dakwah. Melalui mekanisme ini, sebagian faktor pemicu konflik bisa kita hindarkan, dan dapat mengurangi munculnya tindakan-tindakan agresif atas nama agama. Dampak moralnya juga sangat besar, yakni munculnya sikap saling percaya. Yang lebih penting lagi, diharapkan tidak akan ada lagi kelompok-kelompok agama atau lainnya yang berusaha memainkan rasa ketakutan oleh kelompok lain untuk tujuan-tujuan politik keagamaannya, yang  dengan demikian berarti mengurangi resiko keamanan yang paling mendasar.
Forum-forum silaturahmi antar kelompok atau ormas agama sebaiknya diaktifkan kembali dengan agenda-agenda yang lebih kritis mengenai persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh masing-masing ormas. Aparat pemerintah sebaiknya dilibatkan, terutama dari kementerian agama dan kepolisian. Jangan diartikan sebagai intervensi negara. Tetapi bahwa keterlibatan negara dalam forum seperti itu, justru diperlukan agar negara dapat melakukan peran preventif yang lebih aktif. Ini juga berarti kebebasan beragama tanpa regulasi negara akan menciderai agama itu sendiri, sebab melalui prasangka yang timbul akibat faktor-faktor kondisional yang berkembang, akan dengan mudah melahirkan chaos di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dukungan terhadap  UU No. 1/PNPS/1965 maupun Pasal 156a RUU KUHP, sangat diperlukan. Jika tidak, akan menghadirkan ruang bebas tanpa aturan, sehingga konflik agama akan mudah pecah. Yang diperlukan dalam undang-undang itu adalah penjelasan clear cut atas terma penodaan agama, sehingga ia tidak menjadi “pasal karet” yang dapat disalahgunakan.
Menanamkan Nilai
Kita memiliki kultur mengapresiasi terhadap toleransi, kebebasan, dan menjunjung tinggi terhadap terjalinnya persahabatan yang mulia. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika  sangat jelas dimaksudkan sebagai pengakuan positif terhadap keragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat. Tetapi mengapa justru dalam alam demokrasi sekarang ini nilai-nilai tersebut seakan hilang.
Masalahnya sangat jelas, bahwa liberalisasi yang dipercaya dalam reformasi sebagai jalan jitu menuju demokratisasi, telah mengakibatkan terdesaknya ide komunal, yang sebelumnya diagung-agungkan sebagai landasan bermasyarakat. Sementara itu, secara bersamaan nilai yang menjunjung tinggi individu sebagai warga negara yang berdaulat, juga ditempatkan secara kokoh di pusat kehidupan masyarakat sebagai jalan politis  baru, menggantikan nilai-nilai kebersamaan yang sebelumnya, dituduhkan, didefinisikan untuk kepentingan otoritarian. Akibatnya, suatu sifat individualisme mengikis cepat etika komunal, yang sebelumnya memang sudah berlangsung akibat modernisasi. Masyarakat kemudian meninggalkan teladan komunal yang luas, dan terlempar ke dalam pencarian keseimbangan baru dalam kelompok-kelompok agama atau organisasi kemasyarakatan lainnya, yang mampu memberi kehangatan maksimal dengan sentimen-sentimen baru. Pilihannya adalah pada kelompok-kelompok atau aliran keagamaan baru serta ideologi-ideologi politik lain yang lebih menjanjikan kehangatan dan semangat baru. Akibatnya, masyarakat terfragmentasi dalam persaingan ideologi dan keagamaan yang tinggi, yang tidak sehat karena penuh prasangka, yang bisa menjadi akar petaka bila tidak segera diantisipasi.
Langkah politik perlu dilakukan. Tetapi menanamkan nilai-nilai kebersamaan sebagai satu warga bangsa dan toleransi, menjadi lebih penting sebagai visi hidup bersama. Sama pentingnya adalah nilai-nilai keadilan, yang tidak sekedar menyangkut aspek pemenuhannnya, melainkan meliputi pentingnya menjaga  hak hidup bagi agama dan keyakinan semua golongan, sehingga masyarakat terhindar dari prasangka dan mendapatkan ketentraman. Tidak perlu mempromosikan teologi pluralisme, terutama dari ide John Hick (1987) yang menempatkan agama-agama secara teologis sebanding, sebab prakteknya justru kantraproduktif, karena sebagian golongan, terutama Islam, memandangnya sebagai “pemurtadan”. Ini bukan dasar dan nilai yang baik untuk membentuk persaudaraan berdasarkan kebangsaan yang dilandasi oleh kebudayaan ensiklopedis seperti bangsa Indonesia ini.  Dan atas dasar itu pula Ki Hadjar Dewantara dan KH Wahid Hasyim bersepakat meletakkan nilai-nilai kebudayaan dan agama sebagai landasan sistem pendidikan Indonesia.
Kita memiliki landasan genuin dan indigenous dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan ini jangan dibiarkan berkembang menjadi kultus. Ungkapan ini lebih sesuai sebagai dasar membangun persaudaraan bangsa Indonesia karena sesuai dengan  unit dasar masyarakatnya yang terdiri dari kelompok-kelompok suku dengan kelompok-kelompok agamanya. Tetapi implementasinya perlu direvitalisasi dalam bentuk nilai-nilai yang dapat menjadi energi penting untuk merajut kelompok-kelompok tersebut dalam satu masyarakat bangsa dan mereorientasi kehidupan bermasyarakat pada tingkat yang lebih mendasar, yaitu pada tujuan kebangsaan. Jangan sampai reformai gagal menghasilkan kebaikan bagi masyarakat.
Penutup
Penting digarisbawahi bahwa  agama, apapun agamanya dan apapun alirannya, memiliki kepentingan terhadap soal kebebasan. Kebebasan  dan perlindungan HAM sebagai satu paket,  justru penting untuk melindungi agama atau aliran agama itu sendiri, melindungi kemanusiaan, mencegah munculnya penguasa zalim, dan menegakkan keadilan, yang semua itu menjadi misi penting agama.
Sekedar catatan untuk kepentingan umat Islam, dengan kebebasan beragama dan diberlakukannya perlindungan HAM, seperti di negara-negara Barat, umat Islam di sana justru tumbuh dan terlindungi. Bandingkan dengan masa sebelumnya, pada abad ke 15, ketika Eropa dilanda ortodoksi yang kejam dan sikap toleransi dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Saat itu, dalam tempo dua belas tahun sebanyak 13.000 orang mati sebagai korban Inkuisisi, sebagian besar kaum Yahudi. Dan pada tahun 1499 di Spanyol, setelah jatuhnya Granada, umat Islam diberi pilihan yang sama: dibaptis  atau pengusiran (Karen Armstrong, 1998). Itu pelajaran berharga bahwa menjaga kebebasan beragama adalah fundamental; sementara konstitusionalisme dan HAM adalah instrumen penting guna melindungi status dan hak warga negara dalam beragama, termasuk bagi umat Islam beserta semua alirannya.

*Wakil Ketua Umum PBNU

NYAI HJ IZZAH SYATORI Pencetak Banyak Hafidzah

Hari itu, langit dan bumi pesantren Babakan-Ciwaringin-Cirebon tiba-tiba ‘basah’. Bukan karena hujan lebat yang menimbulkan genangan banjir, melainkan karena para keluarga, santri, dan masyarakat meneteskan tangis air mata. Salah seorang ulama perempuan yang hafizhah itu wafat meninggalkan semuanya.
Sosok ulama perempuan hafizhah itu tak lain, Nyai Hj Izzah Syathori Fuad Amin, salah seorang pengasuh pesantren Bapenpori (Balai Pendidikan Pondok Putri) al-Istiqomah, putri dari al-Maghfurlah KH Abdullah Syathori (sesepuh pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun), dan istri mendiang KH Fuad Amin (sesepuh pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin). Beliau dipanggil oleh-Nya, 3 September 2013.
Nyai Izzah adalah sosok yang istiqomah dalam mencerdaskan umat, melalui pengajian rutin; pengajian kitab kuning maupun al-Qur’an. Tak mengenal kata lelah dan bosan dalam hal mengajar ngaji kepada para santri maupun masyarakat luas. Ini terbukti, salah satunya saat upacara pemakaman mendiang. Tak seperti biasanya, ribuan orang berjejalan dan sesak memenuhi areal maqbarah Raudlatut Tholibin.
Tak tahu ada berapa kali sesi shalat jenazah saat itu, baik yang berlangsung di pelataran masjid maupun saat sudah dimakamkan. Saya begitu yakin, ini karomah dan keistimewaan dari seorang hamba yang begitu mencintai dan mengabdikan sepenuh hidupnya demi dan untuk kelestarian al-Qur’an.
Pengajian yang istiqomah dilakukan Nyai Izzah pun sederhana. Untuk pengajian jami’iyah rutin mingguan, beliau hadir di hadapan para ibu-ibu menjelaskan berbagai macam ilmu. Pengajian seperti ini berlangsung di Babakan dan Arjawinangun. Jamaah pun menyimak dan berikutnya menampung banyak pertanyaan bernada keluh kesah seputar kehidupan agama, sosial, dan ekonomi rumah tangganya.
Nyai Maryam Abdullah, salah seorang menantu mendiang pernah bercerita: “Sering kali saya menyaksikan setiap malam Jum’at, beliau (al-Marhumah) hendak pergi mengajar pengajian ibu-ibu di Arjawinangun, walaupun dalam kondisi hujan, dan sekalipun harus naik becak tetap dilakoninya. Sebagai pemimpin jami’iyah di Babakan dan Arjawinangun beliau dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan memiliki karakter mobilisator.”
Sementara saat di pesantren, Nyai Izzah akan setia membimbing para santriwati. Mengaji al-Qur’an misalnya, para santriwati berbaris rapi, bergiliran menyetorkan bacaan al-Qur’annya. Saking banyaknya santriwati yang ingin belajar mengaji al-Qur’an kepada beliau, setiap sesi setoran bacaan, beliau sanggup menyimak tidak kurang dari enam orang sekaligus secara bersamaan, masing-masing tiga orang santriwati di baris sebelah kanan dan kiri.
Tak hanya para santriwati, semua para Nyai yang ada di pesantren Babakan-Ciwaringin belajar mengaji al-Qur’an kepadanya. Beliaulah memang ulama perempuan paling otoritatif dalam bidang al-Qur’an baik di wilayah pesantren Babakan-Ciwaringin, pada khususnya, Cirebon dan Jawa Barat pada umumnya.
Jika ditelusuri jejak intelektualnya, Nyai Izzah sendiri mesantren dan belajar mengaji langsung kepada al-Maghfurlah KH Mahfudh Mas’ud, pimpinan pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta. Ia pun mampu menghafal al-Qur’an (hafizhah) dalam waktu yang relatif singkat, hanya 9 bulan.
Demikianlah, maka pesantren Bapenpori al-Istiqomah, masyhur sebagai pesantren yang istiqomah mencetak para hafizhah, santriwati penghafal al-Qur’an. Putera-putrinya pun demikian, cerdas dan hafizh-hafizhah. Itu semua tak lain merupakan buah dari keberkahan, kecerdasan, dan keistiqomahan Nyai Izzah sebagai pengasuh dan pendidik di pesantren.
Yang sangat mengesankan, banyak di antara kaum ibu yang awalnya buta huruf al-Qur’an atau bahkan lidahnya susah untuk melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an tetapi akhirnya fasih dan hafal surat-surat penting
Saking istiqomahnya beliau dalam hal mengaji, saat hendak bepergian jauh pun beliau selalu mempertimbangkan agar tidak ketinggalan waktu mengaji. Setahu saya beliau juga orangnya ulet dan telaten dalam mengajar. Siapapun yang ingin mengaji kepada beliau mulai dari kalangan anak-anak sampai orang tua pasti dilayaninya dengan senang hati.
KH Thohari Shodiq, salah seorang pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin, berkali-kali menegaskan bahwa Nyai Izzah adalah satu-satunya Nyai sepuh yang alim, terutama dalam hal kajian kitab kuning. Selain alim dalam kajian al-Qur’an.
Akhirnya, kita memanjatkan do’a, semoga Nyai Izzah berbahagia di bawah naungan surga-Nya. Demikian juga yang ditinggalkan, baik para santri, keluarga, dan masyarakat dapat tabah serta menimba keteladanan, keistiqomahan, dan keikhlasan dari seorang ulama perempuan yang hafizhah ini. Amin.

Mamang M. Haerudin
Ketua LP3M STID AL-Biruni Cirebon, khadim al-Ma’had pesantren Raudlatut Tholibin Babakan-Ciwaringin.

Gus Mus Ingatkan Para Kiai Tak Terjebak Pilkada

Wakil Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri mengingatkan kalangan kiai dan pesantren agar memainkan peran sebagai penjaga akhlak bangsa, dan tidak terjebak dalam peran-peran instrumental, seperti turut menjadi tim sukses calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menyampaikan hal tersebut pada pembukaan sarasehan “Pesantren dan Krisis Akhlak Bangsa” yang diselenggarakan Komunitas Majma’ Buhust An-Nahdliyyah di Magelang, Jawa Tengah, Ahad, (19/10) lalu.

Di tengah merebaknya korupsi oleh para pejabat, peran kiai sebagai penjaga moralitas ditunggu sekaligus layak dipertanyakan secara kritis, apakah menjadi solusi atau justru bagian dari masalah bangsa.
Menurut Gus Mus, situasi kebangsaan saat ini benar-benar telah krisis. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan bukan saja melanda kalangan eksekutif dan legislatif namun juga Yudikatif. Penyelewengan penegak hukum merupakan pertanda masyarakat sedang menyongsong masa kehancuran. Berbagai kasus yang mencuat saat ini, bagi Gus Mus, juga mengindikasikan adanya upaya menghabisi orang-orang baik di negeri ini.

Dalam sarasehan tersebut dibahas berbagai persoalan kebangsaan, kepesantrenan, dan ke-NU-an. Forum ini dihadiri sekitar 40 kiai dari DI Yogyakarta dan Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Majma’ Buhust An-Nahdiyyah adalah forum diskusi yang didirikan KH Mustofa Bisri (Rembang) dan KH Mahfudz Ridwan (Salatiga), yang aktif mengkaji berbagai topik ke-NU-an, kepesantrenan, dan kebangsaan.

Turut hadir KH Abdul Ghofur Maimun  dari Sarang, KH Yahya Cholil Tsaquf (Rembang), KH Mahfudz (Maron), dan KH Mu’adz Thohir (Pati). Hadir pula kiai dari Magelang, yaitu KH Said, KH Aziz, dan Dr Thonthowi. Sedangkan dari Yogyakarta, tampak KH Asyhari Abta, KH Mu’tashim Billah, Dr Waryono Abdul Ghofur, Dr Sahiron, dan Kiai Jadul Maula.

KH Muzammil (Bantul), KH Masduqi Mahfudz, KH Dr Tamyiz Mukharrom, KH Abdullah Hasan (Sleman), KH Munir (Kota Gede), Muhammad Mustafied (Mlangi), dan puluhan Kiai muda lainnya juga turut serta dalam kegiatan tersebut.

PBNU: Kembalikan Fungsi MPR Sebagai Lembaga Tertinggi

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginginkan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang membawahi lembaga tinggi negara yang lain dikembalikan seperti sebelum era reformasi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali dalam sarasehan Revitalisasi Jihad NU di Gedung Juang 45, Surabaya, Selasa (22/10) seperti dilansir harian Duta Masyarakat.

As’ad menyampaikan, para kiai meresahkan dinamika politik yang berkembang jauh dari kesepakatan pendirian negara akibat masuknya liberalisme dan fundamentalisme yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematik.

“Keresahan para kiai sudah diungkapkan oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh dalam Munas Alim Ulama NU di Buntet Cirebon beberapa waktu lalu. Bahkan presiden langsung memberikan respon,” kata As’ad.

Para kiai juga meminta amandemen UUD 1945 ditinjau kembali, karena hanya sedikit amandemen yang bermanfaat. Sementara yang lain lebih banyak mudharatnya.

“Para kiai meminta MPR dikembalikan kepada fungsinya sebagai lembaga tertinggi yang membawahi lembaga tinggi lainnya, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga jika ada masalah antar lembaga, maka ada penengahnya yakni MPR,” kata As’ad.

Terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), NU mengusulkan pilkada langsung cukup dilakukan sampai tingkat provinsi. “Pancasila itu mengutamakan musyawarah. Itulah demokrasi ala Indonesia, bukan pemilihan langsung,” katanya

Para kiai juga meminta 10 produk Undang Undang terkait ekonomi ditinjau ulang. “Ekonomi harus mengedepankan etika, dan ekonomi khas Indonesia adalah gotong royong, antara ekonomi atas dan ekonomi bawah saling kerjasama dan saling membantu,” tambah As’ad. (A. Khoirul Anam)

Pesantren yang Merawat Orang Gila

Berbeda dengan pesantren pada umumnya. Pesantren yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto Gg. 7 Kelurahan/Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo, Jawa Timur ini tidak hanya mengasuh santri untuk belajar, tetapi juga merawat orang gila.

Pesantren yang terkenal dengan nama Pesantren Pering ini telah berdiri sejak tahun 1992. Sejak tahun itu pula pesantren ini merawat dan berupaya menyembuhkan orang gila dengan jalan rohani.

Pering sendiri singkatan dari Persatuan Remaja Infarul Ghowayah dan didirikan oleh KH. Abdul Aziz yang merupakan alumni Pesantren Lasem, Jawa Tengah. Tercatat sebagai santri sejak tahun 1974 hingga 1991 atau sekitar 17 tahun menjadi santri di Pesantren Lasem tersebut.

Pada tahun 1992, Kiai Abdul Aziz pulang ke Kota Probolinggo dan mendirikan musholla yang seluruhnya terbuat dari bambu atau pring. Menurut kakak Almarhum, Triadi (57 th) yang saat ini menjadi salah satu Pengasuh Pesantren Pering tersebut, dulunya masyarakat sekitar kediaman Kiai Abdul Aziz banyak melakukan kemaksiatan, seperti mabuk, berjudi dan lain sebagainya.

“Adik saya ini pulang untuk memperbaiki akhlak dan kembali menjadi manusia yang patuh kepada agama sesuai ajaran ulama dan kaidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja, red),” ungkapnya kepada NU Online, Kamis (24/10).

Triadi menambahkan, pada awal pendiriannya pesantren ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi berkat kegigihan dari Kiai Abdul Aziz, warga sekitar pesantren tersebut berangsur-angsur menerima.

“Adik saya itu berani pada kebenaran. Pertama kali mendirikan pesantren, banyak yang menentang. Karena memang dulunya kawasan sekitar pesantren banyak yang melakukan kemaksiatan,” jelasnya.

Setelah sepuluh tahun lebih berdiri, akhirnya masyarakat mulai menerima keberadaan pesantren ini. Sebab Kiai Abdul Aziz ini tidak hanya memberikan pelajaran pada santri yang saat itu masih berjumlah puluhan orang, tetapi juga mengajari ibu-ibu yang telah berumur lebih dari 40 tahun.

“Adik saya ini bahkan mengajari ibu-ibu mengaji mulai dari alif-alifan. Betapa minimnya ilmu agama di daerah sekitar pesantren pada waktu pertama kali didirikan,” tegasnya.

Tercatat dari tahun 1992 hingga 2000 jumlah santri di pesantren ini bertambah hingga mencapai seratusan orang. Sayangnya, saat pesantren ini mulai maju, Kiai Abdul Aziz meninggal dunia pada usia 45 tahun.

Meninggalnya Kiai Abdul Aziz menyisakan kehilangan yang sangat besar bagi pesantren tersebut. Hal ini terjadi karena tidak ada sosok yang dianggap mampu untuk menggantikan Kiai Abdul Aziz. (Syamsul Akbar/Anam)

Warga NU Mesti Hargai Perbedaan



Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan perhatian khusus terkait kasus pengusuran warga Syiah dan Ahmadiyah di Sampang, mengingat sebagian besar warga Sampang khususnya dan warga Madura pada umumnya adalah warga NU (nahdliyin).

Seperti diwartakan, seruan agar warga Ahmadiyah diusir dari kampungnya di Sampang terus berlangsung. Sementara Kamis (20/6) hari ini, 2000-an orang juga berdemo menyerukan warga Syiah yang berada di GOR pengungsian dikeluarkan dari Sampang.
“Aliran sesat harus diusir dari Sampang. Para kiai akan bertemu di Sampang. Mudah-mudahan kami dapat kepastian soal Syiah,” kata KH. Ali Kharrar, salah satu tokoh yang memberikan orasi sebagaimana dilansir Tempo.co.
Terkait hal tersebut, KH Mustofa Bisri selaku Wakil Rais Aam NU menghimbau agar seluruh warga NU dan tokoh-tokoh NU bisa menghargai perbedaan, karena itulah garis kehidupan berbangsa dan bermasyarakat NU.
“Tokoh-tokoh NU harus bisa menghargai perbedaan keyakinan. Karena itulah khittah NU dan kenyataan Indonesia. Hendaknya tokoh-tokoh NU membaca (dokumen) Khittah, karena semua telah diatur di sana,” kata Kiai yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus tersebut.
“Jika ada persoalan, misal ada orang yang dianggap menghina Sahabat Nabi—seperti diklaim beberapa kalangan anti-Syiah, hendaknya dilaporkan ke pihak berwajib saja.”
Dalam perbincangan via telpon dengan NU Online, Gus Mus menggarisbawahi pentingnya warga NU menjaga khittah nahdliyyah, salah satunya dengan bersikap toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan keyakinan, dan tidak mudah diseret dalam konflik karena perbedaan keyakinan. Dan dalam konteks ini, Gus Mus berharap pemerintah berperan dengan semestinya, menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan. “Bukan malah memfasilitasi konflik,” katanya.
“Warga NU itu banyak, sebagaimana Islam di Indonesia banyak, ada yang baik ada yang buruk, dan tugas para pengurus dan struktur NU untuk selalu menjaga warganya agar tetap bersikap sebagaimana khittah,” kata Gus Mus. “Kalau perlu prasyarat jadi pengurus NU itu membaca (dokumen) dan memahami khittah,” imbuhnya.

Selasa, 22 Oktober 2013

22 Oktober, NU Peringati Hari Resolusi Jihad.

Tanggal 22 Oktober, warga Nahdlatul Ulama (NU) memperingati satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yakni dikeluarkannya Resolusi Jihad. 68 tahun silam, NU mengeluarkan fatwa tentang kewajiban berperang fi sabilillah untuk mengusir tentara Belanda dan Sekutunya yang ingin kembali berkuasa setelah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari meminta KH Wahab Chasbullah untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya, di kantor NU Jalan Bubutan VI/2. Ada pertanyaan keagamaan (masa’il diniyyah) yang penting dan perlu dijawab oleh para kiai terkait pertanyaan umat Islam dari berbagai daerahapakah hukumnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia?
Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari atas nama HB (Pengurus Besar) NU mengumumkan sebuah fatwa atau seruanJihad fi Sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Isi seruan itu antara lain “bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam, termasuk sebagai kewajiban bagi tiap 2 orang Islam.
Segera setelah dikeluarkannya Resolusi Jihad, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura yang menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah pun bergerak. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Umat Islam bergerak ke Surabaya. Teriakan “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar” mengiringi rentetan peristiwa penting, seperti pembajakan kereta api berisi senjata api milik tentara Inggris oleh pasukan Hizbullah Pos Surabaya Barat, penyobekan warna biru pada bendera merah-putih-biru yang berkibar di hotel Yamato oleh Cak Asy’ari, anak muda Ansor, pembunuhan Jenderal Mallaby oleh seorang santri Tebuireng hingga memuncak pada peperangan besar 10 November 1945.
Resolusi Jihad adalah produk dari pembahasan masalah-masalah keagamaan atau bahtsul masail diniyyah oleh NU. Film “Sang Kiai” yang diputar di bioskop-bioskop Indonesia beberapa waktu yang lalu memperlihatkan proses bahtsul masail sebelum dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad itu. Meski film itu tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sebuah forum bahtsul masail, paling tidak para penonton tahu bahwa NU mempunyai satu prosedur dalam mengeluarkan fatwa, apalagi terkait persoalan yang sangat-sangat penting, soal jihad.
Bahtsul masail yang menghasilkan Resolusi Jihad merupakan kelanjutan dari bahtsul masail yang dilenggarakan dalam muktamar NU di Banjarmasin, tahun 1936. Hasil musyawarah para ulama memutuskan “bahwa Negara Republik Indonesia merupakan "negara Islam" karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam, walaupun pernah direbut oleh penjajah. Resolusi Jihad menegaskan  “Bahwa Indonesia adalah negeri Islam. Bahwa Oemmat Islam dimasa laloe telah tjoekoep menderita kedjahatan dan kezholiman kaoem pendjadjah…”. Bahwa jihad fi sabilillahdalam pengertian perang fisik untuk melawan pasukan Sekutu dan mempertahankan Negara Republik Indonesia adalah bagian dari tugas agama Islam.
Melaui Resolusi Jihad, NU “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki – tangannya. supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Kini setelah 68 tahun berlalu apakah kewajiban jihad dalam pengertian berperang itu masih melekat pada umat Islam di Indonesia?
Beberapa gelintir kelompok Islam garis keras yang gemar berperang atau gemar melakukan provokasi kepada umat Islam untuk berperang, menyatakan kecewa terhadap NU saat ini karena mempunyai definisi lain tentang jihad. Beberapa aktifis NU menggunakan istilah jihad ini untuk program lain seperti, jihad melawan narkoba atau jihad melawan korupsi. “Pengertian jihad oleh NU saat ini menjadi melenceng dan tidak lagi bermakna perang.”  Dikatakan bahwa NU menjadi bagian dari seluruh dunia berdiri untuk melawan satu ibadah dalam Islam, yakni ibadah jihad, perang.
Memang, orang NU paham bahwa istilah jihad mempunyai beberapa makna. Dalam kitab Fathul Mu’in, salah satu kitab kuning yang dipelajari di pesantren-pesantren, dan seirng sekali dikutip oleh Ketua Umum NU KH Said Aqil Siroj, jihad mempunyai empat makna. Pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbir serta bermacam-macam dzikir dan wirid.
Kedua adalah iqamatu syari’atillah, menjalankan ajaran Allah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Ketiga adalah al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah. Dan keempat daf’u dlararin ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan warga baik muslim maupun non muslim.
Seruan jihad pada 68 tahun silam yang berarti perang dikeluarkan oleh NU dalam kondisi umat Islam sedang berhadapan dengan tentara musuh yang hendak kembali menguasai negeri Muslim Indonesia. Bahkan pada 29 Maret 1946 dalam Muktamar NU di Purwokerto, NU menjelaskan lebih rinci pelaksanaan jihad: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe `ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap2 orang Islam, laki2, perempoean, anak2, bersendjata atau tidak (bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km. Dari tempat masoek kedoedoekan moesoeh)”. Dalam bahtsul masail, jarak 94 KM sehingga wajib berperang itu merupakan hasil dari proses qiyas NU atau ilhaqul masail binadhairiha yang dikaitkan dengan jarak tempuh seorang musafir diperbolehkannya menjama'-qashar shalat.
Namun jihad dalam pengertian perang itu tidak menemukan konteknya saat ini. Padaha al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman. Hukum itu diterapkan sesuai konteksnya. Saat ini, tidak ada tentara musuh yang harus dihadapi dengan moncong senjata, sehingga jihad lebih tepat diartikan yang keempat yakni daf’u dlararin ma’shumin, bukan memaksakan definisi jihad yang ketiga dengan merekayasa kondisi seakan-akan umat Islam di Indonesia sedang berperang dengan orang kafir atau sedang dihadapkan dengan musuh sehingga perlu melakukan perang atau latihan perang, bahkan sampai menghalalkan aksi bom bunuh diri. Tidak.
Jihad dalam pengertian daf’u dlararin adalah mencurahkan perhatian secara serius pada bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa. Jihad dapat diwujudkan dalam satu peran politik tingkat tinggi (siyasah aliyah samiyah) seperti itu –memakai istilah Rais Aam NU KH Sahal Mahfudh, termasuk aktif dalam membenahi karut-marut sistem ketatanegaraan, memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela warga negara dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.
Adapun peringatan Resolusi Jihad 22 Oktober oleh NU barangkali adalah sebuah penyataan bahwa NU menjadi bagian penting dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dan sebagai pendiri negara maka NU ikut bertanggungjawab dan tidak bisa tinggal diam atas apa yang sedang menimpa negara ini. (A. Khoirul Anam)

Minggu, 20 Oktober 2013

Jihad dan Tawuran



Kalau sekadar memakai senjata tajam mulai dari  parang, golok, anak panah, bambu runcing, senjata api, meriam dan sejenisnya, ini namanya bukan perang di jalan Allah, tetapi tawuran antardesa. Perang di jalan-Nya selain memerlukan itu semua, juga membutuhkan pikiran matang.

Perang di jalan Allah disebut jihad. Maksudnya perang akan disebut jihad sejauh praktik perang itu dimaksudkan untuk menegakkan agama Allah sebagai syiar. Perang seperti ini sangat dibutuhkan. Agama menganjurkan jihad. Karena, jihad merupakan ibadah.
Hanya saja seseorang yang maju ke medan perang memiliki pelbagai motif. Ada yang maju karena berani, jaga harga diri, atau karena riya. Lalu siapa di antara mereka yang masuk dalam kategori mujahid?

Ketika ditanya demikian, Rasulullah SAW menjawab dengan sabdanya seperti di bawah ini,

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

“Siapa saja yang maju ke medan perang dengan niat agar agama Allah menjadi naik (syiar) maka ia telah berjuang di jalan Allah.”

Namun demikian, para ulama memberikan sejumlah catatan perihal peperangan, jihad, dan perjuangan di jalan Allah. Keputusan untuk perang di jalan Allah harus dilewati dengan sejumlah pertimbangan pikiran. Artinya ulama harus berkumpul terlebih dahulu untuk memutuskan bahwa umat Islam telah wajib untuk melakukan jihad di jalan Allah.
Salah satu contohnya ialah fatwa Resolusi Jihad NU pada November 1945. Fatwa Resolusi Jihad NU ini didasarkan pada pikiran matang ulama. Keputusan fatwa ini tidak didasarkan pada nafsu amarah.

Dalam kitab Dalilul Falihin (syarah Riyadlus Shalihin), M bin Alan Ash-shiddiqy menjelaskan hadis di atas sebagai berikut,

أن القتال في سبيل الله قتال منشؤه القوة العقلية لا القوة الغضبية أو الشهوانية

“Bahwa perang di jalan Allah adalah perang yang didasarkan pada kekuatan pikiran, bukan kekuatan amarah atau kekuatan nafsu.”

Dengan demikian umat Islam tidak boleh memutuskan sendiri perihal perang di jalan Allah. Mereka harus menunggu keputusan dan kebijaksanaan para kiai agar para kiai mengerahkan segala pikiran dan pertimbangannya atas kenyataan yang ada.

Selagi para kiai belum mengeluarkan fatwa jihad, umat Islam tidak boleh memutuskan bahwa dirinya akan maju ke medan perang. Karena, keputusannya didasarkan pada amarah dan nafsu belaka.
Kalau saja salah dalam mengambil keputusan, mereka justru mengamuk dan kalap di tengah masyarakat yang damai, seperti anak-anak yang sedang tawuran. Bukannya kalimat Allah (Islam) menjadi harum, mereka justru mencemarkan nama Islam dari dalam. Wallahu A‘lam(Alhafiz Kurniawan)

Agama Tak Sebatas Peribadatan

Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Tegal, KH Chambali Utsman mengingatkan agar umat Islam tahu betul bahwa perjuangan terhadap agama tidak hanya persoalan peribadatan saja. Yang penting dari persoalan itu lebih banyak di antaranya adalah perjuangan sosial 

“Jadi jangan hanya persoalan peribadatan saja, sosial juga perlu untuk menata umat dan menata pembangunan, dan di sini perlu adanya keshalihan sosial. Ini juga bagian dari kehidupan seorang pemimpin yang membangun bangsa dan Negara,” tutur Kiai Chambali di hadapan para pengurus dan warga NU Kecamatan Dukuhwaru, Balapulang dan Margasari di gedung olahraga Banjaran, Sabtu (12/10) .

Kiai Chambali yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Abror Yamansari itu juga menjelaskan perjuangan agama tidak lepas dari seorang pemimpin sebagaimana Wali Songo dulu menjadikan Raden Fatah sebagai seorang pemimpin dan sarana bagi perjuangan agama. 

“Ini harus kita pahami, karena memilih pemimpin juga tidak gampang, butuh ikhtiar untuk mengusungnya. Untuk mempermudahkan ulama dalam mengemban tugas keagamaanya juga butuh umara yang bisa bekerjasama dengan ulama, tidak bisa satu pihak. “ jelasnya 

Dikatakannya, Islam akan besar juga dengan umatnya, karena umat yang menentukan baik atau buruknya suatu perkara, begitu juga organisasi akan besar atau tidak tergantung warganya. Cukup jelas perkaranya umatlah yang paling menentukan, tinggal warga atau umat itu yang dipimpinya oleh ulama mau atau tidak memenuhi fatwa itu. 

“Persolan ini juga yang dipikirkan jauh-jauh oleh NU. Jadi jika NU mendukung salah satu calon pemimpin baik tingkat nasional atau tingkat lokal itu semata-mata sebagai mata rantai ikhtiar untuk menapakkan lagi jalan khidmat organisasi,” jelasnya.

Khittah 1926 Fokuskan NU ke Pengembangan Masyarakat

Konsep pengembangan sumber daya manusia muncul pasca Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983. Ketika itu ada kegerahan beberapa orang NU terhadap perjalanan NU yang dinilai kurang dinamis. Keterlibatan NU di berbagai hal menyebabkan agenda sosial-keagamaan NU terabaikan.

Munas Alim Ulama Situbondo memberikan pesan untuk mengembalikan peran NU pada Khittah 1926. Yakni, mengarahkan peran dan program NU pada usaha pengembangan masyarakat, khususnya warga NU.

Pandangan ini disampaikan pengurus PCNU Kabupaten Tegal H Muslikh, dalam risalah rapat redaksi Majalah Insanu, sebuah majalah pendidikan yang diterbitkan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (17/10) di Kantor Redaksi Jalan Ahmad Yani Slawi.

“Dan pada muktamar NU ke 27 1984 di Situbondo gagasan kembali pada Khittah mendapat penegasanya. Ketua PBNU terpilih KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) langsung menyiapkan tim untuk merumuskan konsep pengembangan sumber daya manusia. Saat itu ada empat alasan mengapa konsep Pengembangan SDM itu penting,” jelas Muslikh yang juga ketua LP Ma’arif NU Kabupaten Tegal. 

Muslikh mengatakan, empat alasan tersebut, antara lain petama, kualaitas SDM rata-rata penduduk Indonesia masih rendah dan perlu ditingkatkan. Kedua, perlu dilakukan peningkatkan dan perluasan peran serta NU dalam upaya pengembangan SDM sebagai salah satu khidmatnya.

Ketiga, peran serta NU dalam upaya Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) perlu didasarkan atas suatu konsepsi dan dituangkan dalam program operasional yang jelas. Keempat, peningkatan kualitas SDM menempati kedudukan yang strategis dalam peningkatan kualitas masyarakat.

“Konsep PSDM itu merupakan perpanjangan dari konsep atau ajaran Ahlusunnah wal Jamaah, Khittah NU dan Mabadi Khaira Ummah. Ketiga ajaran itu adalah pilar NU dan diharapkan konsep PSDM itu adalah pilar lanjutannya atau pilar ke-4. Yakni mencakup adanya acuan ikhtiar aktualisasi terhadap muatan-muatan yang terkandung dalam ketiga pilar sebelumnya dalam hubungannya dengan program PSDM NU,” katanya memberikan wawasan. 

Muslikh yang juga salah satu dosen di Perguruan Tinggi itu lebih lanjut menegaskan pentingnya peran NU dalam meningkatkan sumberdya manusia. Hal ini bisa direalisasikan melalui LP Ma’arif NU yang mengelola pendidikan dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber daya Manusia NU (Lapesdam NU) yang menagani kajian dan SDM NU.

Hadir dalam kesempatan itu, jajaran pengurus LP Ma’arif NU Kabupaten Tegal, Redaktur Majalah Insanu, dan beberapa kontributor.

NU Karanganyar Akan Terus Kritisi Pemerintah

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Karanganyar menyatakan akan mendukung sepenuhnya tindakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat atau disebut advokasi. 

Hal tersebut disampaikan oleh ketua PC NU Karanganyar saat menghadiri acara rutinan MWC NU Mojogedang Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah kepada NU Online, Sabtu (19/10).

“Menjelang dilantiknya bupati terpilih Karanganyar pada 15 Desember mendatang, warga NU Karanganyar menyatakan siapa saja pemimpinnya, NU akan selalu menyuarakan aspirasi masyarakat sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif” ujarnya.

“Hal tersebut tidak lain bertujuan membangun basis dukungan dari masyarakat luas agar para pemangku kebijakan (para pejabat) agar menuntaskan kasus-kasus masyarakat secara adil dan bijaksana,” tambahnya.

Selain mendukung advokasi, NU Karanganyar juga menyatakan akan tetap mekritisi kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai wujud keikutsertaan NU dalam menjaga bangsa. 

“Orang cinta pasti akan menjaga yang dicintainya dan menginginkan yang terbaik untuknya, begitu pula sebagai wujud cinta NKRI, warga NU Karanganyar akan turut andil dalam mengkritis kebijakan pemerintah, sehingga tidak semata-mata sami’na waatho’na,” tutupnya.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Kang Said: Semua Amalan NU Ada Dalilnya

Warga NU harus bangga dan mantap dengan semua amalan atau tradisi keagamaan yang dijalankan. Tak perlu menghiraukan kicauan kelompok yang gemar menuding bid’ah karena semua amalan dan tradisi itu ada dalilnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan hal itu di hadapan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dalam kegiatan Kuliah Umum di Aula gedung PBNU, Kamis (17/10).
Kang Said, memulai penjelasan dengan membahas bab Sunnah Nabi. Dijelaskannya, sunnah itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitusunnah qauliyah (ucapan), sunnah fi`liyah (perilaku/pekerjaan) dan sunnah taqririyyah(pembenaran).
Ia menekankan penjelasan tentang sunnah taqririyah. “Kalau yang melakukan itu orang lain dan telah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah, mendapat legitimasi, maka menjadi sunnah taqririyyah,” jelasnya.
“Contoh, sahabat Bilal setelah wudlu melakukan shalat dua rakaat lalu  Nabi malah tanya itu, shalat apa Bilal? Shalat ba’diyah wudu. Lalu kata Nabi, ya kamu benar, ayo kita menjalankan itu,” papar Kang Said di hadapan ratusan mahasiswa STAINU Jakarta.
Contoh yang paling penting, lanjut Kang Said, banyak sahabat yang memberikan pujian dan sanjungan kepada Rasulullah, lalu Rasulullah membenarkan hal itu, padahal Rasulullah tidak pernah memuji diri sendiri dan tidak pernah memberikan perintah itu. Ketika para sahabat memuji dan menyanjung Rasulullah, beliau membenarkan, seandainya hal itu tidak benar, pasti Rasulullah melarangnya.
“Contoh ada seorang penyair namanya Ka`ab Bin Zuhair memuji-muji Nabi setinggi langit, engkau orang hebat, engkau orang mulia, orang engkau orang yang gagah berani, engkau orang luar biasa,” tukas Kang Sadi sambil membaca syi`irnya Ka`ab Bin Zuhair
Kalau memuji-muji itu salah, tambah Kang Said, itu pasti dilarang. Rasulullah tidak melarangnya malahan Ka`ab Bin Zuhair diberi kenang-kenangan berupa selimut bergaris-garis (burdah) yang sedang dipakai oleh Rasulullah.
“Kalau nggak percaya, selimut itu masih ada di Museum Topkapi, Istambul, Turki, fakta masih ada, saya dua kali sudah lihat, jadi memuji-muji Nabi Muhammad, baca Diba, Barjanzi, Syarfulanam, Simtudduror, Burdah lilbusaeri, itu sunnah, bukan bid`ah!” tegasnya
Untuk memantapkan penjelasan sunnah taqririyah ini, Kang Said melanjutkannya dengan persoalan tawasul. Diceritakan, Suku Mudhar sedang dilanda paceklik selama 7 tahun karena tidak ada air, tidak ada gandum, untuk mengatasi hal itu tokoh-tokoh Suku Mudhar yang dipimpin oleh Labid Bin Rabi`ah datang menghadap kepada Rasulullah di Madinah, Rasulullah pun bertanya kepada rombongan ini.
“Ada apa datang kemari? Ataina, kami datang kepadamu, litarhamana, agar Engkau merahmati kami, jadi orang ini minta rahmat sama Rasulullah, bukan sama Allah. Kalau salah, pasti dilarang,enggak tuh, enggak dilarang,” tegas Kang Said seraya membaca syiiran Arab yang dibawakan oleh suku Mudhar tersebut.
Setelah mendapat penjelasan dari suku Mudhar ini, Nabi Muhammad kemudian berdoa kepada Allah agar segera menurunkan hujan di daerah suku Mudhar itu, hujan yang membawa rezeki dan berkah, bukan hujan banjir dan membawa malapetaka. Tidak lama kemudian rombongan suku Mudhar pulang, sebelum mereka sampai di  rumahnya masing-masing, di sana sudah turun hujan.
“Kalau mau tahu sejarah ini baca Al-Kamil fittarikh lil imam ibnil Atsir, 13 jilid, Tarikhul umam walmuluk Abu Ja`far Ibnu Jarir Athabari, 10 jilid, Tarikhul hadhar Islamiyah, Prof. DrAhmad Syalabi, 9 jilid, Tarikh Ibnu Khaldun, 14 Jilid, baru tahu cerita ini, maka minta pada Allah lewat Nabi Muhammad itu sunnah, bukan bid`ah,” imbuhnya.
Untuk itu, Kang Said, menegaskan kepada para mahasiswa untuk tetap bangga menjadi warga NU, karena semua amalan-amalan warga NU memiliki dalil-dalil yang kuat. 

Kamis, 17 Oktober 2013

Cara Ulama Mendamaikan Bangsa

Kehidupan damai, rukun, guyub, saling membantu di masyarakat tingkat bawah antara yang anti PKI dan yang PKI sudah berjalan nyaris tanpa kikuk. Sebab, dendam di masyarakat tidak parah, mereka tidak paham politik.
Selain itu, mereka saling tahu kehidupannya sehar-hari, karena bertetangga.
Demikian disampaikan Rais Syuriyah PBNU KH Saifuddin Amsir pada NU Online, Rabu (3/9), di ujung telepon. Menurutnya, "Tingkat masyarakat bawah relatif tidak bermasalah, mereka tidak banyak tahu politik."

Lalu Kiai Saifuddin bercerita bahwa jama'ah pengajiannya tahun 80an sampai 90an banyak bekas anggota PKI. "Ngaji mereka. Ngurus mesjid mereka. Habis ngaji, namanya orang Betawi, ya makan bareng, ngobrol gayeng," ujar Kiai Saifuddin.

Menurut pengakuannya, ketika orang luar menyerbu PKI yang ada di kampungnya, dengan alasan kemanusiaan, warga kampung membendungnya. Kampung kiai yang sehari-hari padat dengan mengisi pengajian ini adalah Kebon Manggis-Matraman, sebelah Berlan, masuk wilayah Jakarta Timur. Di kampung itulah dirinya dilahirkan, pada tanggal 31 Januari 1955.

"Saya masih ingat, ibu-ibu di kampung saya, ketika ada penyerbuan berteriak-teriak, 'jangan dilempari itu, jangan dilembari itu. Itu orang baik, itu orang baik'. Terbendung juga itu orang-orang, tidak nerusin nyerbu. Terbendung oleh suara ibu-ibu. Ini suara kemanusiaan."

"Saya mau cerita lagi. Tetagga saya orang PKI, namanya Bebas Pati Mulya, aslinya Medan, agamanya Kristen, punya anak nakal ndak ketulungan. Duit orang tuanya dicuri, pulang malam. Pokoknya nakal sekali. Itu Pak Bebas ngundang kami, untuk tahlilan dan mendoakan agar anak itu jadi bener. Dan namanya diganti tuh, jadi Muhammad Soleh. Ya kami datang."

"Yang ingin saya katakan adalah, secara kemanusiaan tanpa diminta pun para warga sudah saling memaafkan. Banyak hal yang kami lakukan. Itu upaya warga melakukan rekonsiliasi. Itu perintah agama."

Namun, Kiai Saifuddin Amsir menyatakan dengan tegas bahwa Partai Komunis Indonesia tidak bisa dimaafkan secara politik. "Sudah betul itu PKI ditumpas. Jangan sampai hidup lagi. Trauma kita. Untuk perdamaian bangsa, ubah saja pikiran, bangun satu sikap baru. Pandang ke depan, jangan ada sejarah macam begitu. Kalau saling memaafkan, jangan. Jangan sampai ada. PKI itu terjepit saja bisa berkelit, apalagi diberi jalan."

Saifuddin masih ingat, betapa pahitnya omongan Aidit yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang banyak, yang bisa buat bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh ulama.
"Siapa yang ndak sewot dihina-hina begitu? Lha Jangankan kite orang pesantren, kan Mochtar Lubis saja dongkol saat Pram dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay tahun 1995. Mochtar kan sempat mau banting penghargaan yang sama yang lebih awal diterimanya. Tidak main-main PKI. Mereka punya semboyan rawe-rawe rantas malang-malang putung," ujarnya.

Bisa dipahami jika Saifuddin tidak rido pada PKI. Bagaimana tidak, partai berlambang palu-arit itu menghina para ulama yang mendidikan dirinya sedari kecil. Ia sangat dekat dan mencintai para gurunya yang antara lain Muallim Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Dan bapaknya, Amsir Naiman, sendiri adalah guru ngaji di Kebon Manggis.

Saifuddin kecil menyaksikan bahwa PKI mengancam orang-orang Islam di Jakarta secara terbuka, bahkan dia melihat sumur-sumur sudah dipersiapkan di sanggar Lekra yang ada di kampungnya.

"Kampung saya kecil, tapi itu sanggar terbesar Lekra di Jakarta dipimpin langsung Profesor Bakri Siregar. Di sanggar mereka memang membuat sumur. Saya melihat sendiri. Anak-anak muda dari pelbagai kampung dilatih secara militer."

Saifuddin mengenang, anak-anak muda, khususnya perempuan, dilatih sebisa mungkin untuk menari. Pelatihnya dari Ansor. Lagunya berjudul "Mencuci Pakaian" yang diciptakan oleh bapaknya: Amsir Naiman. Makna lagu tersebut adalah orang harus mencuci dirinya dari kotan-kotoran yang disebarkan orang-orang PKI.

Menari merupakan kegiatan yang jauh dari kehidupan sehari-hari warga Kebon Manggis, yang biasanya hanya mengaji. Tapi mereka melakukannya agar bisa melawan tarian dan nyanyian seniman Lekra yang punya kekuatan Prof Bakri Siregar, yang seniman betulan.

Saifuddin bangga anak-anak kampungnya yang bukan seniman bisa melawan Lekra yang seniman. Dia juga senang Orde Baru mampu menyabet PKI secara tuntas. Tapi dia menyayangkan, sabetan Soeharto mengenai banyak sembarang orang.

Lulusan IAIN Ciputat jurusan Akidah dan Filsafat itu memberi catatan, "Anak PKI yang tidak mengerti PKI mendapatkan hukuman berat juga. Orang-orang yang cuma ikut-ikutan kena juga. Kasihan mereka. Pak Harto tidak cermat. Pak Harto pakai juga tuh semboyan PKI rawe-rawe rantas malang-malang putung."

Cara Ulama
Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Daerah Istimewa Yogyakarta M. Jadul Maula menyatakan bahwa perdamaian bangsa ini dapat terlaksana dengan cara dan ilmu ulama.

"Jalan dengan cara ulama adalah memutus mata rantai dendam kebencian dan kekerasan. Menyiram api amarah dengan air dingin yang menyejukkan, berupa iman kepada Allah Yang Maha Kuasa. Begitulah cara dan ilmu ulama menyelesaikan konflik antarsesama," terang M. Jadul Maula, saat dihubungi NU Online melalui telepon, Rabu (3/10).

Dia menyebutkan, jalan dan cara para ulama adalah mengikuti Rasulullah.

"Ketika beliau (Rasulullah, red.) sebagai pemimpin tertinggi umat, di dalam masjid berbicara langsung pada rakyat 'adakah di antara kalian yang hak-haknya telah aku ambil dan tidak rela? Silakan ambil kembali hak itu dan hukum qishos aku, supaya aku dapat menemui Tuhanku, terbebas dari belitan beban hak-hak anak Adam'. Itu teladan panutan kita dalam menyelesaikan urusan dengan sesama. Kita wajib mengikutinya," papar Jadul yang juga pengasuh Pesantren Kaliopak, Bantul.

Jiwa bangsa ini, tegas Jadul, perlu dikembalikan lagi pada jalan rahmat atau kasih sayang, jiwa yang takut melanggar, dan mengambil hak-hak orang lain. "Menurut para ulama kita, tujuan mendirikan bangsa adalah juga untuk menjaga hak-hak manusia tersebut. Itu yang kita kenal dengan al-masholihul 'ammah, kemaslahatan-kemaslahatan umum. Inilah bagian dari khittah Indonesia 1945 yang kita suarakan di Munas Cirebon itu," tegasnya.

Khusus terkait PKI, Jadul berpendapat bahwa peristiwa 65 serta rangkaian sebelum dan sesudahnya, telah merenggut paksa keseluruhan masholih itu, dan ironisnya pemerintah tidak bisa menjaganya. "Para ulama NU yang ikut mendirikan negara ini, saya yakin menangisi keseluruhan peristiwa 65 tersebut. Karena betapapun, korban-korbannya adalah semua, NU korban, juga saudara-saudara sebagangsa," ujarnya.

"Gus Dur ketika minta maaf atas persitiwa 65, saya yakin mewakili spirit ulama, dan beliau kanulama juga, spirit para pendiri bangsa dan ingin mengembalikan jiwa bangsa pada fitrahnya, menegakkan kembali negara atas tujuan pendiriannya. Dasarnya rahmat, tujuannya adalah kesejahteraan seluruh rakyat, terlindunginya kemaslahatan bersama,"

Ketika ditanya soal tentang para aktivis PKI, dia menjawab, "Apa PKI masih ada? Kalau masih ada, mereka juga harus meminta maaf. Jangan bilang PKI tidak bersalah. Peristiwa Madiun 1948 itu PKI. Kita harus saling meminta maaf dan memaafkan."

"Mari, semua elemen bangsa mencontoh Gus Dur yang telah minta maaf sebagai pemimpin agama atau ulama, dan sebagai pemimpin bangsa. Dengan meminta maaf, yang tampak dari Gus Dur adalah kebenaran, kekuatan dan kebesarannya," pungkasnya.