Senin, 25 November 2013

Bersama Habib Syech, Ribuan Warga Teriakkan "NU!"



Salah satu lirik shalawat yang  kerap dibawakan Habib Syech As-Segaf adalah Selawat Nahdliyin (NU). Dalam senandung yang sebagian menggunakan bahasa jawa tersebut, hampir di setiap ujungnya terucap kata “NU”.

Siapa pun yang hanyut dalam untaian Selawat Nahdliyin akan bersemangat untuk mengikuti kata di setiap akhir baitnya. Hal seperti ini juga terdapat dalam acara “Cirebon Bershalawat”. Ribuan orang bersama-sama meneriakkan kata "NU" pada acara yang dihelat dalam rangka memperingati haul Sunan Gunung Jati di Alun-alun Kejaksan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/11) malam, itu.

Berikut di antara penggalan lirik yang dilantunkan Habib Syech dan diteruskan penuh semangat oleh ribuan warga Cirebon.

“Tahun 26 lahire ...”

“NU!”

“Ijo-ijo benderane ... “

“NU!”

“Gambar jagat simbole ...”

“NU!”

“Bintang songo lambange...”
“NU!,” teriak warga Cirebon berulang kali.

Acara yang dihadiri Habib Luthfi Bin Yahya, Habib Muthohar, serta Menteri BUMN Dahlan Iskan, ini juga diramaikan ratusan bendera NU dan badan otonon lainnya, seperti GP Ansor, IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat, hingga PMII.

“Jelas, kami merasakan aura lain yang menjadikan kami semakin mencintai NU. Insyaallah, ribuan masyarakat yang hadir pun merasakan hal yang sama,” ungkap Wahyono, Ketua PC IPNU Kabupaten Cirebon yang juga turut hadir di tengah lautan manusia.

Meskipun hujan besar mengguyur di sepanjang acara, para pengunjung tampak tetap antusias mengikuti acara gema selawat yang terselenggara atas kerja sama Pemerintah Kota Cirebon dan Majelis Taklim An-Nadwah ini. (Sobih Adnan/Mahbib)

Jihad Terbesar Melawan Korupsi dan Ketidakadilan

Momentum Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad harus dijadikan refleksi bersama seluruh elemen bangsa untuk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia pada konteks kekinian. Semangat para ulama mempertahankan kemerdekaan dengan menggulirkan resolusi jihad pada 22 September 1945 silam harus dilanjutkan sesuai kebutuhan saat ini.

Pengasuh  Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahudin Wahid mengatakan, peristiwa Resolusi Jihad menunjukkan pesan penting bahwa untuk mendirikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia diperlukan pengorbanan, baik harta maupun nyawa.Perjuangan para ulama mempertahankan kemerdekaan RI dengan menggulirkan fatwa resolusi jihad menjadi keharusan untuk dilanjutkan. 

Menurut Gus Sholah, dalam konteks kebangsaan saat ini, untuk melanjutkan perjuangan para ulama tentu saja bentuknya berbeda dengan masa kemerdekaan Indonesia 68 tahun silam. Pada konteks kekinian, jihad untuk bangsa Indonesia tidak perlu dilakukan dengan mengangkat senjata untuk berperang dengan negara lain. 

Namun, ujar dia, untuk memaknai resolusi jihad dan melanjutkan perjuangan para ulama, jihad terbesar untuk bangsa Indonesia pada saat ini adalah jihad melawan penjajahan dalam dimensi lain. "Jihad terbesar saat ini adalah melawan korupsi dan ketidakadilan," kata Gus Sholah, di sela-sela acara pembukaan Peringatan Resolusi Jihad bertajuk “Napak Tilas Resolusi Jihad NU dalam Pertempuran Bersejarah 10 November 1945”, di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Ahad (24/11/2013) pagi.

Gus Sholah menandaskan, resolusi Jihad yang digulirkan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari pada tanggal 22 Oktober 1945 yang memantik perjuangan heroik melawan upaya pendudukan kembali Belanda dan tentara sekutunya tidak cukup hanya diperingati. Yang lebih penting, ujar dia, adalah mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia. "Tidak cukup hanya diperingati. Kita harus melakukan sesuatu untuk mengisi kemerdekaan," tandasnya.

Sementara itu, memperingati Resolusi Jihad KH Asy'ari 1945, sekitar 3000 orang mengikuti acara ngonthel bareng dalam acara bertajuk “Napak Tilas Resolusi Jihad NU dalam Pertempuran Bersejarah 10 November 1945”. Dimulai dari Pondok Pesantren Tebuireng, tempat kediaman Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, mereka bergerak mulai pukul 06.00 WIB ke Surabaya menuju Kantor PCNU Surabaya di Jalan Bubutan. 

Tempat itu, merupakan tempat berkumpulnya para kiai NU 68 tahun silam untuk membahas kedatangan kembali tentara Sekutu. Pertemuan tersebut akhirnya melahirkan fatwa Resolusi Jihad. "Pondok Tebuireng ini menjadi start napak tilas peringatan resolusi jihad. Kenapa di Tebuireng? Sebab dari sinilah embrio resolusi jihad yang menjadi pemantik perjuangan pada 10 November 1945 di Surabaya," kata Minan Rohman, Ketua Panitia Lokal napak tilas peringatan Resolusi Jihad. (Syaifullah/Abdullah Alawi)

Selasa, 19 November 2013

LDNU: Dakwah Berakhlak, Tak Menghujat Orang Lain

Hal paling pokok bagi Nahdlatul Ulama dalam berdakwah adalah akhlakuqul karimah. Selain diyakini sebagai kunci keberhasilan, akhlak tak menyudutkan orang atau kelompok lain sehingga memicu permusuhan.
“Bukan modelnya NU menghujat orang lain. Bukan modelnya NU membid’ah-bid’ahkan orang lain. Bukan modelnya NU mengkafir-kafirkan orang lain. Memangnya kita Tuhan? Kok bisa mengkafirkan orang lain,” tutur Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Dakwah NU (LDNU) H Nurul Yakin Ishaq di Jakarta, Selasa (4/6).
Yakin memberi sambutan kepada 201 Nahdliyin ranting Slarang Lor, Dukuhwaru, Tegal, Jawa Tengah, yang bersilaturahim ke kantor PBNU. Dalam kesempatan itu, dia mengimbau warga NU untuk tidak mudah mengeluarkan vonis sesat kepada siapapun. Ajakan tersebut mengacu pada teladan para wali dan ulama NU di masa lalu.
Menurut Yakin, NU memiliki garis silsilah keilmuan yang jelas, baik di bidang akidah, fiqih, maupun tasawuf. Dalam khazanah ajaran Ahlussunah wal Jamaah, umat ditekankan menganut prinsip moderat dan toleran.
Ditambahkan, NU tak hanya menghormati semua orang, bahkan yang sudah mati sekalipun. “Jangankan masih hidup, yang sudah mati saja kita hormati. Makanya ada Yasinan, tahlil, doa bersama,” katanya.

Pedang Raja Pertama Saudi Arabia Terjual 1 Juta Euro

Pedang bersejarah pemberian pendiri Arab Saudi, Raja Abdul Aziz, terjual di rumah lelang Prancis seharga hampir satu juta euro.

Pedang itu diberikan kepada keluarga kerajaan Afghanistan sebagai simbol persahabatan antara dua negara, seperti dilaporkan oleh BBC.

Pedang itu dihiasi emas dan kepala singa serta tulisan Allah.

Namun arti penting pedang itu adalah sejarahnya, menurut rumah lelang Ostenat.

Raja Abdul Aziz memberikan pedang itu kepada Pangeran Ahmad Shah Khan di Afghanistan untuk menandai pendirian kerajaan pada tanggal 5 Mei 1932.

Pedang -yang diperkirakan berasal dari Suriah pada abad ke-19- dengan panjang 79 centimeter itu kemudian dijual ke kolektor Prancis.

Lelang pedang itu menarik banyak minat dari para kolektor di Timur Tengah, kata rumah lelang Osenat.

"Simbolisme pedang itu penting bagi negara-negara Arab," kata Jean-Christophe Chataignier dari Osenat.

"Memberikan hadiah pedang merupakan tanda pesahabatan, kesetiaan, dan saling melindungi," kata Christophe Chataignier.

Pembeli baru pedang itu melakukan penawaran lewat telepon dan tidak ingin disebutkan namanya.(mukafi niam)

Minggu, 10 November 2013

Prof KHR Fathurrahman Kafrawi, Menteri Agama Kedua dari NU

Dari beberapa nama para tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama (Menag), mungkin orang inilah yang dapat dikatakan paling singkat menjabatnya.

Tercatat di daftar nama-nama Menteri Agama, Prof. K.H.R. Fathurrahman Kafrawi, pernah menjabat sebagai Menag selama kurang lebih sepuluh bulan (2 Oktober 1946 - 26 Juli 1947). Jabatan tersebut diembannya dalam Kabinet Syahrir III, dimana ia menggantikan Menag sebelumnya, H.M Rasjidi. Sebagai orang NU, dia juga orang yang kedua menjabat Menag, setelah KH Wahid Hasyim.

Meskipun cukup singkat, namun Fathurrahman dapat membenahi struktur organisasi di kementerian yang ia pimpin. Selain itu, ia juga memperbaiki peraturan-peraturan yang terkait dengan Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) yang ditetapkan dalam UU. No. 22 Tahun 1946. Di dalam peraturan tersebut, menertibkan posisi penghulu, modin, dan sebagainya.

Kebijakan lain, yang diambil pada masa Fathurrahman, yakni menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Pada saat itu, mata pelajaran (mapel) agama memang telah berhasil dimasukkan ke sekolah-sekolah umum negeri dari tingkat Sekolah Rakyat hingga Sekolah Menengah Atas. Namun, pada kenyatannya nilai mapel agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas alias tidak dipentingkan. Setelah melalui proses, pada masa Fathurrahman ini, pendidikan agama dan budi pekerti akhirnya wajib diberikan di sekolah umum.

Kontribusi lain Fathurrahman ketika menjabat sebagai Menag, yakni tentang Maklumat Kementerian Agama No. 5 Tahun 1947. Keputusan ini muncul untuk menengahi permasalahan yang muncul setiap tahun, yakni tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Fathurrahman menyadari hal tersebut, dan mengeluarkan kebijakan yang sampai sekarang masih rutin diselenggarakan oleh Kementerian Agama.

Selain pernah menjabat sebagai Menag, Fathurrahman yang lahir di Tuban (Jawa Timur) pada 10 Desember 1901, juga pernah menjadi Wakil Ketua Konstituante (1957-1959) dan anggota MPRS sebagai wakil Karya Ulama. Karirnya yang bagus di bidang politik itu diimbangi dengan karirnya yang beragam, seperti pendidikan dan sosial masyarakat.

Keragaman itu mungkin didapat dari latarbelakang kehidupan Fathurrahman yang juga penuh dengan warna. Meskipun lahir dari kalangan NU, yakni dari pasangan Kiai Kafrawi dan Aisyah, dirinya tak sungkan bergaul dengan teman dari aliran lain. Bahkan istrinya, Buchainah, berasal dari kalangan Muhammadiyah, meskipun setelah menikah dengannya kemudian bergabung menjadi pengurus Muslimat Yogyakarta.

Di kota Gudeg ini, namanya diabadikan sebagai salah satu nama gedung di sebuah kampus Islam swasta ternama. Ia dianggap telah berjasa merintis berdirinya kampus tersebut bersama tokoh NU lain, Prof. K.H.R. Muhammad Adnan. Di kurun waktu itu pula, ia berhasil merintis lahirnya Perpustakaan Islam dan Poliklinik NU di Yogyakarta.

Pribadi Sederhana nan Moderat

Dalam mengenyam pendidikan, Fathurrahman selain pernah nyantri di Jamsaren Solo, juga pernah merasakan pendidikan di Makah dan Mesir (sepuluh tahun). Sewaktu di Al-Azhar Mesir, ia aktif dalam berbagai kelompok mahasiswa Indonesia di Mesir, di antaranya adalah Jamaah al-Khairiyah al-Talabiyah al-Azhariyah al-Jawiyah. Di organisasi itu ia pernah menjadi ketua.

Usai belajar di Mesir, dia melanjutkan pendidikan di Leiden Belanda. Kemudian, selama satu tahun ia belajar di Prancis dan Inggris. Maka tak heran, kalau Fathurrahman dikenal menguasai berbagai macam bahasa asing.

Namun, dari ketinggian derajat pendidikan yang ia dapatkan tak membuat ia menjadi besar hati. Dia dikenal sebagai figur yang sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Salah seorang putranya menceritakan bahwa jika pulang dari sidang-sidang MPRS, ayahnya selalu ikut kereta api dan menyempatkan diri berbincang-bincang dengan penumpang lainnya, menyangkut masalah-masalah sosial.

Di samping itu ia juga dikenal sebagai pribadi yang menghargai perbedaan pendapat, bahkan dari berbeda agama sekalipun. Seringkali seorang pastor datang ke rumahnya untuk membicarakan masalah sosial keagamaan.

Fathurrahman Kafrawi, menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 September 1969, pada usia 68 tahun. Ia dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta. Ia meninggalkan seorang istri, Buchainah binti Hisyam, serta lima orang anak : Salladin, Latifah Hanum, Kamal Hidayat, Djalaluddin Fuad, dan Liliek Amalia. (Ajie Najmuddin/Red: Mahbib)

Mbah Subkhi, Kiai Bambu Runcing

KH Syaifuddin Zuhri mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung penganten sundoro Sumbing..... Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.
“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo,  “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.
KH Saefudin Zuhri, mantan Menteri agama itu mengantar sendiri KH.A.Wahid Hasyim,KH.Zainul Arifin dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Mengapa ke Parakan?
Parakan terkenal dengan kota bambu runcingnya yang ampuh. Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah.
Bambu Runcing pada masa Jepang juga sudah di gunakan.  Menurut sumber sejarah pada masa Jepang mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para anak-anak, remaja dan pemuda dalam Senendan, senjata yang di pakai untuk latihan antara lain senjata bambu runcing. 
Namun sebelum bambu runcing digunakan, para santri dan pejuang terlebih dahulu meminta berkah doa dari kiai di Parakan, terutama kiai Subkhi.  Tidak banyak cerita mengenai doa apa yang di bacakan oleh Kiai Subkhi. Namun bambu runcing Parakan menjadi senjata utama sebelum para pejuang berhasil merampas senjata milik tentara penjajah.
Dan ketika sudah ribuan pejuang yang datang ke Parakan menemui Kiai Subkhi utuk mencium jemari tangannya dan meminta do’a, Kiai Subkhi malah bertanya “mengapa tidak datang kepada Kiai Dalhar,Kiai Hasbullah dan Kiai Siraj?
Mbah Subkhi, putra salah anggota pasukan Diponegoro yang kemudian berjuang dan menetap di daerah Parakanadalah kiai yang sangat sederhana dan rendah hati.  KH.Saifudin Zuhri dalam bukunya berangkat dari Pesantren bercerita, “KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu.
“Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.” (Ahmad Muzan-Wonosobo)

Sabtu, 02 November 2013

tawasuth-i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar.

Khittah NU dan Sikap kemasyarakatan
Dasar-dasar sikap kemasyarakat NU ada empa, yaitu: tawasuth-i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Tawasuth dan I’tidal
Sikap teguh yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah hidup bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, dan dalam masalah khilafiyah itu sendiri, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah, menyerasikan kepada Allah Swt., khidmah sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan (diambil dari Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo tahun 1984, komisi II tentang Khittah dan organisasi bagian 4).

Jumat, 01 November 2013

Islam Nusantara, Alternatif Baru Kiblat Dunia Islam

Islam nusantara sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam perjalanan peradaban dunia islam, sebab sejarah telah membuktikan bahwa ulama-ulama Nusantara mampu menembus pusat Islam yang ada di Mekkah.

Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta berkomitmen melanjutkan perjalanan para ulama nusantara dengan membentuk Pascasarjana Program Magister Prodi Sejarah Kebudayaan Islam dengan Konsentrasi Islam Nusantara.

Hal ini ditegaskan oleh Direktur Pascasarjana Program Magister STAINU Jakarta, Prof. DR. Ishom Yusqi, MA di Pesantren Ats-Tsaqafah, Ciganjur Jakarta, Jum`at (1/11)

Dalam kesempatan itu Prof. Ishom menyebutkan paling tidak ada empat point penting yang membuat Islam Nusantara perlu digemakan, ia memulainya dengan kondisi Timur Tengah yang saat ini dilanda konflik.

“Timur Tengah sedang dilanda krisis politik, kita tidak bisa mengandalkan Timur Tengah, Iran? Iran belum sepenuhnya diterima masyarakat Islam dunia, nah Islam Nusantara ini diharapkan bisa menjadi inspirasi dan mampu menjadi alternatif kiblat dan kebanggaan dunia Islam, Mesir itu Negara Islam paling produktif menulis dibandingkan yang lain, kalau konfliknya tidak selesai apa lagi sampai hancur-hancuran, habis peradaban Islam itu,” tegasnya

Kedua, lanjut Prof. Ishom, saat ini organisasi transnasional sudah mulai tumbuh dan berkembang, jika hal ini tidak dibendung dampaknya adalah akan mengikis habis nilai-nilai kenusantaraan yang sudah ditanam oleh para pendiri bangsa Indonesia.

“Dulu ada transnasional di Indonesia, PKI (Partai Komunis Indonesia), tapi kemudian saat itu bergejolak, nah sekarang ada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sudah masuk ke lapisan masyarakat bawah sampai atas, melalui halaqah-halaqah, masuk ke sekolah-sekolah dan kampus, buku, demokrasi itu sistem kafir, taghut dan seterusnya, padahal ulama nusantara sudah sepakat bahwa Indonesia itu tidak perlu daarul islam, tapi darusalam,” imbuhnya

Selain HTI, Prof. Ishom pun menyebut Ikhwanul Muslimin yang sudah masuk ke Indonesia dengan “chasing” yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari referensi atau bacaan wajib mereka, yaitu bukuMa’tsurat-nya Hasan Al-Bana.

Selanjutnya Prof. Ishom menyebutkan point ketiga pada unsur empat pilar (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) yang saat ini berada dalam ancaman kelompok yang hendak membuang dan menggantinya dengan ideologi dan ajaran yang dibawa oleh mereka.

Terakhir, Prof. Ishom menyebutkan ciri-ciri dan Islam Nusantara, yaitu Keindonesiaan, Keislaman dan Keaswajaan dengan prinsip attasamuh, attawasuth, al-I’tidal dan attawazun.

“Islam Nusantara itu orang Indonesia yang beragama Islam, Identitas Indonesianya ditunjukan, jangan kemudian belajar ke Arab, Yaman, Pakistan dan lainnya, Indonesianya jadi hilang, kalau tinggalnya disana ya tidak apa-apa, tapi kalau KTP-nya masih Indonesia ya tidak bisa, tidak bisa meng-Arab-kan Indonesia, Me-Yaman-kan Indonesia atau mem-Pakistan-kan Indonesia, jadi mesti meng-Indonesia. Begitu juga sebaliknya, jangan kemudian pulang dari Inggris atau Eropa disini cium pipi kanan-kiri, dan sebagainya” ungkapnya

Untuk itu Islam nusantara ini mesti bangkit dan terus dikaji, Prof. Ishom pun mengakui bahwa sebenarnya umat Islam Indonesia yang berkualitas dan produktif cukup banyak jumlahnya, namun kendala yang dihadapi adalah Bahasa Indonesia tidak diakui PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai bahasa Internasional, berbeda dengan Bahasa Arab yang diakui oleh PBB sebagai bahasa Internasional, namun kendala itu tidak terlalu mengganggu untuk membangkitkan Islam Nusantara ini. (Aiz Luthfi/Anam)

Istighotsah, Sarana Serap Aspirasi dan Pererat Silaturahmi

Dalam rangka untuk mempererat ikatan silaturahim diantara pengurus dan Nahdliyin, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Lumbang Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur secara istiqomah menggelar istighotsah. Tidak hanya di kantor NU, istighotsah ini juga dilakukan di rumah tokoh masyarakat di masing-masing ranting.

Ketua Tanfidziyah MWCNU Kecamatan Lumbang Suparman kepada NU Online, Jumat (1/11) mengungkapkan bahwa saat ini sudah banyak paham-paham baru di luar NU dan bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Hal ini tentunya menjadi sebuah ancaman besar bagi kebersamaan warga NU.

”Menyikapi hal itu, maka MWCNU Kecamatan Lumbang semakin mendekatkan diri kepada masyarakat melalui kegiatan istighotsah. Melalui istighotsah ini, maka diharapkan akan semakin mempererat dan memperkokoh jalinan ikatan silaturahim di antara sesama pengurus NU dan warga Nahdliyin. Sehingga nantinya akan menumbuhkan rasa kebersamaan untuk bersama-sama membesarkan NU,” ungkapnuya.

Tidak hanya itu menurut Suparman, istighotsah juga dapat menjadi sebuah media untuk menyerap aspirasi Nahdliyin. “Dengan demikian NU tahu apa yang diharapkan oleh warganya. Sehingga nanti dapat dimasukkan sebagai program prioritas MWCNU Kecamatan Lumbang,” jelasnya.

Suparman menegaskan istighosah ini merupakan salah satu tradisi ulama NU yang harus terus dilestarikan. ”Jangan pernah meninggalkan tradisi-tradisi yang ada dan tetap berpedoman pada hal-hal yang telah dirumuskan oleh ulama NU. Sebab tradisi-tradisi ini merupakan simbol dan kekuatan untuk membesarkan NU di tengah-tengah masyarakat,” tegasnya.

Lebih lanjut Suparman menjelaskan istighotsah bertujuan untuk mengamalkan ajaran tradisi ulama NU Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan mendoakan masyarakat. “Istighotsah ini merupakan salah satu upaya yang kami lakukan untuk selalu melestarikan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh ulama NU,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)