Minggu, 23 Februari 2014

Dicari: Keunggulan Budaya

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.

***

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari- hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.

***

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar Islam -sebagai agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat “teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civilizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.

***

Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shimbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri muslim.


*) Dikutip dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Duta Masyarakat, 5 Juli 2003.

Kamis, 13 Februari 2014

Peringatan Harlah NU Jombang Tegaskan Kesetiaan terhadap Tradisi dan NKRI

Di Jombang Jawa Timur,  sejumlah kegiatan akan diselenggarakan untuk memperingati kepada hari lahir (Harlah) NU ke-88 tahun. Di antara kegiatan tersebut adalah apel kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pentas seni hadrah serta bakti sosial.

Ketua panitia Harlah PCNU Jombang H M Fadlulloh Malik menyampaikan hal itu kepada NU Online, Rabu (12/2). Pria yang akrab disapa Gus Fadlulloh ini mengatakan, harlah NU yang akan diperingati di Jombang kemungkinan hampir sama dengan di tempat lain.

"Yang lebih ditekankah adalah komitmen menjaga tradisi dan khidmat kepada masyarakat serta kebulatan tekad untuk menjaga keutuhan negeri," ungkapnya.

Komitmen terhadap tradisi antara lain diwujudkan dengan pementasan kesenian Ishari atau Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia yang berbaur dengan hadrah dan shalawat al-Banjari.

"Sedangkan komitmen kepada NKRI diwujudkan dengan apel kesetiaan di Alun-alun Jombang yang dihadiri para aktivis lembaga, badan otonom serta lajnah di kepengurusan NU," ungkap salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini.

Kegiatan kemasyarakatan juga menjadi rangkaian harlah. "Pelaksanaannya di Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Jombang," katanya.

Ribuan santunan untuk anak yatim dan piatu serta pengobatan gratis kepada masyarakat sekitar direncanakan menjadi bagian dari rangkaian kegiatan ini.

Puncak kegiatan akan ditutup dengan pengajian umum di masjid kebanggaan kota santri di barat Alun-alun. Gus Fadlulloh atas nama panitia sangat berharap kegiatan yang akan dilangsungkan antara tanggal 15 hingga 16 Maret mendatang mampu berjalan suskses.

"Kegiatan diharapkan juga sebagai media konsolidasi simpul NU di berbagai kekuatan," pungkasnya.

Islam di Nusantara Disebarkan Wali Songo, Bukan Saudagar

Berbagai literatur keliru ketika menyebutkan kalangan saudagar berjasa menyebarkan Islam di Nusantara. Namun, kekeliruan itu diyakini banyak orang hingga kini. Padahal, saat itu hanya kalangan Brahmana yang boleh berbicara tentang agama, bukan saudagar.

Pasalnya, kata Agus Sunyoto saat bedah Atlas Wali Songo di Universitas Muria Kudus, Selasa (11/2), saat itu spiritualitas ditentukan sejauh mana seseorang melepas diri dari keduniawian. Maka saudagar yang kesehariannya berkelindan dengan urusan dunia, tidak mungkin bisa menyebarkan agama.

“Selama tujuh abad di Nusantara, Islam tidak dapat berkembang. Hal ini terjadi sejak abad ketujuh. Sedangkan Wali Songo mampu menyebarkan Islam secara luas hanya karena memiliki relasi dengan kaum Brahmana,” terang Agus di hadapan hadirin bedah buku.

Bedah buku yang digelar sebagai penutup rangkaian Festival Maulid ini, menghadirkan keturunan Sunan Kalijaga Agus Hermawan sebagai narasumber. Diskusi ini dimoderatori aktivis-jurnalis Rosyidi.

Peserta diskusi berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis PMII, santri pesantren, dan beberapa dosen. Diskusi ini disiarkan langsung oleh Radio Buana Kartika NU Kudus. (Istachiyah/Alhafiz K)