Kamis, 27 Juni 2013

ISNU: Berpolitik Tidak Boleh dengan Ideologi Uang

Ketua Umum Ikatan Sarjana NU (ISNU), Ali Masykur Musa mengatakan ongkos berpolitik tidak harus berbiaya mahal karena dapat ditekan dengan melakukan pendidikan ideologi.

"Berpolitik harus didasari dengan ideologi kebangsaan, bukan dengan ideologi uang," kata Ali Masykur di Jakarta, Kamis.

Dikatakannya, calon pemimpin harus bisa memberikan contoh terhadap proses pembelajaran yang baik dalam sosialisasi politik, bukan hanya mobilisasi massa. 

"Para calon pemimpin harus bisa menjadi panutan masyarakat, mendidik politik rakyat tidak secara transaksional, tetapi lebih melakukan pendekatan dengan memanfaatkan forum ritual sosial agar terjalin keakraban," terang Cak Ali, panggilan Ali Masykur. 

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI itu menambahkan, jika kedekatan dengan rakyat sudah terjalin, maka kekhawatiran tentang biaya politik yang tinggi tidak perlu dirisaukan lagi. 

"Jika kita bisa berpolitik secara santun, maka tingginya biaya politik yang berimbas pada perilaku korupsi bisa ditekan," kata dia.

Dalam kesempatan itu, atas nama ISNU, dirinya menyampaikan ucapan selamat kepada parta politik dan caleg untuk berkompetisi dengan penuh etika dan menghasilkan wakil rakyat yang amanah.

"Jangan  ciderai hati rakyat," kata mantan anggota DPR RI itu.

PCNU Diminta Segera Bentuk ISNU

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se Jawa Tengah diminta segera membentuk kepengurusan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di daerah masing-masing. Hal ini merupakan amanat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ISNU di Semarang awal Maret 2013 lalu.

Permintaan ini disampaikan sekretaris  PW ISNU Jateng Fahruddin Aziz LC.,M.Ag dalam acara konferwil IV NU Jateng Di SMP/SMA Semesta Semarang, Ahad (23/6).

Fahrudin mengatakan 36 PCNU se Jateng yang sudah membentuk ISNU baru 12 cabang yang terdiri dari Lasem,Cilacap, Purworejo, Kendal,Sukoharjo, Wonogiri ,Brebes, Kebumen, Salatiga, Pati, Purbalingga dan Pekalongan. Dari 12 PCNU itu baru ISNU Pekalongan yang sudah disahkan Pimpinan Pusat, sisanya sedang dalam proses pengajuan.

“Bagi PCNU yang belum membentuk, dimohon segera dibentuk kemudian susunan kepengurusannya dikirim ke PW untuk diproses pengesahannya,” pintanya.

Dalam menyusun pengurus ISNU, jelas Fahrudin, komposisinya adalah penasehat, dewan ahli, ketua,wakil ketua, sekretaris dan wakil kemudia bendahara beserta wakil bendahara. Sementara departemen disesuaikan saja sesuai kebutuhan cabang, kota atau kabupaten.

“Untuk mempercepat cukup pengurus hariannya saja yang diajukan, pengurus departemennya belakangan. Ini kebijakan PP karena pembentukan departemen dipandang membutuhkan proses yang lama,”imbuhnya lagi.

Sebagaimana diketahui, pembentukan pengurus wilayah dan cabang ISNU menjadi program konsolidasi organisasi yang diketuai oleh H Ali Masykur Musa ini. Untuk PW ISNU Jawa Tengah sudah terbentuk dan disahkan bersamaan Rapimnas di Unwahas Semarang dengan ketua Drs H A. Kholiq Arief M.Si.

JELANG RAMADHAN Sambut Bulan Suci, LDNU Beri Arahan Para Dai

Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) akan memberi pengarahan kepada peserta Pendidikan Kader Dai NU yang berjumlah 95 orang. Mereka akan dibekali materi untuk mematangkan persiapan menghadapi Ramadhan.

“Tujuannya agar mereka menyiapkan diri pada Ramadhan ini secara maksimal. Bulan suci ini jangan sampai berlalu begitu saja, harus diisi amal shalih sebanyak-banyaknya, seperti tadarrus, sedekah, qiyamul lail (ibadah malam), i’tikaf, dan lain-lain,” kata Pengurus Pusat LDNU KH Zakky Mubarak di Jakarta, Selasa (25/6).

Menurut dia, pengarahan ini efektif dilakukan karena para dai didikan LDNU mayoritas memiliki majelis taklim. Para dai diharapkan akan membangkitkan semangat masyarakat untuk mengisi Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan positif.

Zakky juga mendorong warga NU untuk tidak hanya fokus pada ibadah ritual saja. “Saya mengharap Nahdliyin juga memanfaatkan waktu ini untuk menambah pengetahuan agama baik dengan mendatangi forum kajian atau membaca buku,” ujarnya.

LDNU pada Ramadhan tahun akan kembali menggelar kajian kitab kuning secara rutin, di samping mengelola sejumlah kegiatan keagamaan lain, sepeti tarawih, kultum, dan bukan bersama, di Masjid an-Nahdlah di gedung PBNU, Jakarta.

Senin, 24 Juni 2013

Selamat atas Pelantikan Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Bantur Kabupaten Malang

Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Bantur Kabupaten Malang melaksanakan pelantikan pengurus baru, akhir pekan kemarin. Prosesi pelantikan ini dilaksanakan menyusul konferensi yang telah dilaksanakan pada tanggal 31 Mei lalu.

Kyai Samawadin dan Kyai Qomaruddin terpilih kembali sebagai pasangan Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah. Ini merupakan kedua kalinya beliau mendapat amanat menahkodai NU Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

Menurut H Mujib Syadzili, Salah seorang Pengurus Cabang NU yang menghadiri dan melantik para pengurus, bisa diperkirakan sekitar 3000 orang menghadiri acara tersebut. Dan antusiasme masyarakat juga sangat besar.

“saya perkirakan 3000 orang jamaah yang hadir Sabtu malam kemarin. Dan masyarakat sangat antusias sekali mengikuti. Padahal jarak antar dukuh di daerah ini sangat berjauhan," ungkapnya.
 
Menurut Mujib, masyarakat merasa membutuhkan Nahdlatul Ulama. Dan mereka juga merasa terayomi dan dilindungi oleh NU. Mengingat Masyarakat Malang selatan bisa dikatakan masih sangat minim dan gersang akan bimbingan kerohanian, dan mereka merasa bahwa NU telah memberikan Ajaran Islam yang menyejukkan.

“Mereka merasa diayomi dilindungoleh NU dan mencari perlindungan pada organisasi Nahdlatul Ulama. Itulah yang membuat mereka sangat menyukai kegiatan-kegiatan NU," tandas Mujib.

Kader Muslimat NU terus berbenah diri dan meningkatkan kualitas.

Ketua PW Muslimat NU DKI Jakarta Hizbiyah Rokhim meminta agar kader-kader Muslimat NU terus berbenah diri dan meningkatkan kualitas.



“Yang sudah memiliki majelis taklim, tingkatkan majelis taklimnya. Yang sudah punya TK, tingkatkan kualitas TK-nya,” katanya ketika memberikan sambutan dalam peringatan Harlah ke-67 Muslimat NU DKI Jakarta, di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Ahad.

Peringatan harlah kali ini dimeriahkan dengan lomba kreasi lukis bagi anak-anak dan lomba jalan sehat dengan start dari gedung PBNU jl Kramat Raya 164 Jakarta pusat.

Ribuan peserta dari lima cabang Muslimat NU se-DKI Jakarta mengikuti jalan sehat ini. Tak ketinggalan, sejumlah bapak-bapak dan kader Ansor turut memeriahkan jalan sehat dengan doorprize sepeda motor, perangkat elektronik, perangkat rumah tangga dan lainnya.

Sementara, sebagian orang tua yang memiliki balita asyik menunggui putra-putrinya yang ikut lomba mewarnai di sebuah tenda yang didirikan di halaman TIM.

Sebelumnya, dalam rangkaian harlah tersebut, telah dilakukan pengobatan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan.

Sekjen PBNU H Marsudi Syuhud yang hadir dalam kesempatan tersebut sangat mendukung kegiatan tersebut.

“Kalau kader Muslimatnya sehat-sehat, Bapaknya sehat-sehat, IPNU-IPPNU-nya tentu NU-nya juga sehat,” paparnya.

Ia sepakat dengan peryataan Hizbiyah bahwa kualitas kader Muslimat NU harus ditingkatkan.

“Jangan takut dengan organisasi-organisasi baru karena kita sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Kita adalah pendiri republik ini,” katanya.

Dengan metode dakwah yang ramah seperti yang dilakukan oleh para Walisongo dan dilanjutkan oleh para ulama NU, Islam bisa menjadi mayoritas di Indonesia. Islam di Indonesia tidak dikembangkan dengan cara-cara kekerasan, tetapi dengan penuh kedamaian.

Kepada para kader Muslimat, Marsudi juga mengingatkan, untuk menjaga ajaran aswaja, jika mendidik anak-anaknya, agar selalu di lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai aswaja, sejak dari TK sampai ke perguruan tinggi.

APEL KEBANGSAAN “ GP Ansor Bukan Organisasi Kemarin Sore ”

Puncak peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-79 GP Ansor Kencong Jember diadakan dalam bentuk Apel Kebangsaan. Apel yang dipusatkan di Alun-alun kota Puger itu diikuti 300 anggota Ansor dan 250 anggota Banser serta ratusan warga nahdliyyin, Ahad (23/6).

Kegiatan yang dirangkai dengan pelantikan 6 PAC dan 53 Pimpinan Ranting se Cabang Kencong tersebut diawali dengan kirab panji-panji Ansor dan Banser keliling kota Puger, dilanjutkan dengan penampilan atraksi pencak silat dan gebyar shalawat.

Tampil juga menghibur masyarakat kota Puger, tim Paduan Suara anak-anak Pesantren Kilat (Bimbingan Pasca Ujian Nasional) yang melantunkan lagu-lagu penyemangat GP Ansor, seperti Mars Ansor,Yaah Lalwathan dan Pusaka Ulama.

Dalam sambutannya, Bupati Jember, yang diwakili oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemkab Jember, H. Wiji Prastyo, menyampaikan apresiasi kepada Ansor, khususnya Ansor Kencong yang selalu tampil di Garda Depan dalam Perjuangan membela tanah air.

“Ansor bukanlah organisasi kemarin sore. Ansor adalah organisasi yang lahir sebelum bangsa ini lahir, dan perjuangan Ansor tak lapuk oleh hujan dan tak lekang karena panas,” jelas Kakesbangpol yang kader NU tersebut di lapangan kota Puger yang diguyur hujan gerimis.

Selain para tokoh NU dan para ulama se kota Puger, hadir juga Pimpinan Wilayah GP Ansor Jawa Timur, ketua PC GP Ansor Banyuwanagi, para ketua Badan Otonom NU, kader Ansor yang menjadi anggota DPRD, yaitu Agus Widianto, ketua Fraksi PAN DPRD Jember dan HM Imam Ghozaly Aro, anggota DPRD Jawa Timur dan sejumlah undangan lainnya.

KH Khoir Zad Maddah, Rais Syuriyah PCNU Kencong dalam amanahnya menyampaikan agar GP Ansor selalu berada dalam garis perjuangan ulama NU, yaitu islam ala ahlissunnah wal jamaah.

Pesan Gus Ya’ (panggilan akrab KH Khoir Zad) tersebut mempertegas instruksi kepada kader Ansor, agar persoalan aliran menyimpang yang selama ini mengganggu kerukunan warga NU dan umat Islam kota Puger selalu menjadi fokus perhatian Ansor. 

Sementara itu, Abd. Rohim, ketua PC GP Ansor dalam laporannya menyampaikan berbagai program kegiatan dalam rangka Harlah 79 GP Ansor, yang meliputi berbagai kegiatan, Seminar, Gebyar Shalawat, Bahtsul Masail, Pelatihan Koperasi Syariah, Sanlat, Turnamen Tenes Meja, dan ditutup dengan Apel Kebangsaan di Alun-Alun Kota Puger.

“Pokoknya sejak April 2013 sampai jelang malam Nisfu Sya’ban sore ini Ansor Kencong benar-benar bergerak,” tutup ketua cabang yang akan mengakhiri Masa Khikmadnya tahun depan ini.

KONFERWIL NU JATENG Gus Ubaid-Abu Hafsin Pimpin PWNU Jateng

KH Ubaidillah Shodaqoh dan KH Abu Hafsin akhirnya terpilih menjadi Rais Syuriah dan Ketua tanfidziyah PWNU Jawa Tengah periode 2013-2018. Dari 37 suara yang memilih, KH Ubaidillah memperoleh 23 suara sementara Abu Hafsin meraih suara 28.

Dalam sidang pleno yang dipimpin ketua PBNU H Maksum Mahfudz ini, proses pilihan diawali dengan pemilihan Rais Syuriah melaui tahap pencalonan dan pemilihan. Pada tahap pencalonan muncul tiga nama KH Ubaidillah Shodaqoh 19 suara, KH Aniq Muhammadun (Pati) dengan 12 dan KH A’wani 6 suara. 

Sesuai kriteria pencalonan, nama yang memperoleh minimal 9 suara berhak maju mengikuti  tahap pemilihan sehingga hanya KH Ubaidillah dan KH Aniq yang berhak maju. Saat tahap pemilihan ini, KH ubaidillah memperoleh 23 suara sedangkan KH Aniq 14 suara.

Sementara pemilihan Ketua Tanfidziyah juga menggunakan proses yang sama. Dari nama yang muncul hanya Abu Hafsin yang memenuhi syarat maju pada tahap selanjutnya. Namun karena calon tunggal, pimpinan sidang menawarkan kepada peserta untuk ditetapkan sebagai ketua terpilih.

Untuk menyusun kepengurusan, Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah dibantu perwakilan karesidenan Pekalongan, Pati, Kedu, Banyumas dan Semarang sebagai tim formatur. 

Ketua terpilih Abu Hafsin menyatakan siap membawa organisasi ke depan menjadi lebih maju  dengan melanjutkan rintisan program. Pihaknya berjanji menguatkan ukhuwwah nahdliyah dan mengembalikan ruh NU sesuai tradisi pesantren.

Kepada NU Online, Abu Hafisn mengatakan akan melakukan penguatan  syuriah dan tanfidziyah serta peningkatan kualitas pesantren termasuk juga peningkatan pendidikan NU. "Selama ini pendidikan NU masih butuh ditingkatkan karena itu menjadi prioritas garapan ke depan," katanya singkat usai pemilihan.

Terpilihnya KH Ubaidillah dan Abu Hafsin menutup proses agenda konferwil XIV yang berlangsung di SMP/SMA Semesta Semarang.Tepat pukul 22.00., konferwil ditutup dengan Do'a.

Santri Belajar Membuat Video Diary

Pesantren Aswaja Nusantara bekerjasama dengan Kampung Halaman, mengadakan pelatihan pembuatan video diary atau video dokumenter, Sabtu-Ahad (22-23/6) kemarin di Aula Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta.

Acara tersebut ditujukan bagi santri-santri Pesantren Aswaja Nusantara yang duduk di bangku SMP, SMA dan Universitas, dengan bimbingan enam orang dari Kampung Halaman.

Dalam sambutannya, Kiai Musatfied, Direktur Pesantren Aswaja Nusantara mengatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kapasitas bagi santri dalam mendokumentasikan sesuatu. Ia pun menyitir sebuah kata-kata Imam Al-Ghazali.

“Ilmu itu seperti kuda dan penunggangnya. Kuda, sejinak apapun akan lari. Maka pengikat dari ilmu adalah dengan menulisnya. Namun sekarang, untuk mengikat sebuah ilmu tidak hanya dengan menulis, justru dengan audio-visual akan lebih bagus dan menarik,” ungkapnya.

Ia menambahkan, mengapa pelatihan video penting adalah karena hal tersebut dapat menjadi arena menerjemahkan gagasan penting dalam mencerahkan masyarakat. “Mendokumentasikan gagasan itu penting, agar nantinya dapat membawa perubahan bagi masyarakat,” tandas Kiai Tafied.

Ima Puspita Sari, selaku koordinator pelatih dari Kampung Halaman mengatakan bahwa hari pertama akan digunakan untuk pengenalan tentang Kampung Halaman, hal-hal dasar mengenai video diary itu sendiri, serta mencari tema yang akan diangkat ke dalam video. Kemudian hari kedua akan digunakan untuk proses shooting hingga editing.

Ia mengatakan bahwa video diary itu sendiri tidak jauh berbeda dengan video dokumenter. “Secara sederhana, perbedaannya ada tiga hal, yakni video diary merupakan ungkapan hati dari teman-teman, kedua, semua adalah sutradara dan pembuat naskah, dan terakhir, isunya keluar dari pembuat itu sendiri dan pesannya jelas,” papar Ima.

“Hasilnya nanti akan menjadi salah satu dari 39 video diary di Jalan Remaja 1208,” tambahnya.

“Kami senang, karena dari sini kami bisa tau masalah-masalahnya apa. Juga bisa jadi inspirasi baru bagi kami, biar nggak hanya nulis saja,” ungkap Dahlia, salah satu peserta pelatihan pembuatan video diary kepada NU Online siang itu.

Semoga video yang dihasilkan dan isu yang diangkat nanti dapat menginspirasi dan memotivasi semua pihak, terutama bagi kalangan pesantren demi meningkatkan kualitas.

Kang Said Ingatkan Pentingnya Dakwah Lewat Internet

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj meminta pengurus NU mengembangkan dakwah secara kontekstual melalui media internet. Hal ini penting, agar media sosial ini tidak hanya menjadi alat adu domba.

Demikian yang disampaikan, Said Aqil, saat melantik pengurus Cabang NU (PCNU) Jombang 2012-2017 di Aula Yayasan Pesantern Mambaul Maarif Denanyar Jombang, 

"Dakwah tidak hanya cukup di masjid, dan musholla saja, akan tetapi pengurus NU harus bisa mengisi dan menggunakan media  internet, seperti Facebook, Youtube, harus kita isi,” ujarnya.

Menurut Kang Said biasa dipanggil, dakwah kepada masyarakat  juga bukan hanya berbicara soal aqidah saja. Menurutnya, persoalan aqidah bagi kalangan NU justru sudah tuntas, sehingga dalam  ceramah perlu menekankan pada persoalan peradaban.

“Bagimana NU  ikut memajukan masyarakat, yakni  masyarakat bermartabat, ekonomi mapan, kesehatan terjamin ,ini yang harus NU sampaikan,"imbuhnya menambahkan. 

Disamping soal dakwah di era globalisasi dengan menggunakan media internet. Kang Said, juga meminta Pengurus NU yang baru menjalankan program dan organisasi dengan transparan. 

"Mulai  dari PB, PW hingga Ranting, harus menggunakan mangemen terbuka, transparan, tidak sembunyi-sembunyi.  Mulai sekarang NU harus terbuka; programnya , juga laporan  keuangannya,” tambahnya.

Hadir dalam pelatikan, diantaranya Sekretaris PW NU Jatim Mashudi Mukhtar, Ketua DPW PKB Halim Iskandar, Bupati Jombang Suyanto dan Wakil Bupati Widjono Soeparno, Kapolres Jombang AKBP Tribisono dan jajaran Muspida.

Ulama Palestina: Bid'ah Hasanah Berdasar Ayat Al-Qur'an

Ulama asal Palestina Dr Syaikh Muhammad Utsman menilai, bid’ah atau kreativitas dalam beragama tak selalu menyimpang dari agama. Selama bid’ah ditujukan pada hal yang positif tanpa menyekutukan Allah, kegiatan tersebut sah dilakukan.



Pandangan ini disampaikan dalam peringatan maulid Nabi SAW yang dirangkai dengan Istighotsah dan Pengajian Bulanan yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) di Masjid an-Nahdliyyah, lantai dasar gedung PBNU, Jakarta Pusat,.

Mengutip pendapat sejumlah ulama klasik, Syaikh Utsman membagi bid’ah menjadi dua, yakni bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk) danbid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Menurut dia, bid’ah hasanah, seperti peringatan maulid Nabi, didapati rujukannya dalam kitab suci al-Qur’an.

Dosen Universitas Global Lebanon ini mendasarkan pandangannya pada surat al-Hadid ayat (27). Ayat ini menjelaskan tentang sejarah para pengikut Nabi Isa yang melakukan bid’ah di luar kewajiban agama. Karena tujuannya untuk mencari keridlaan-Nya maka mereka pun dilimpahi pahala.

“Rahbaniyyah (tradisi kerahiban untuk tidak beristri atau bersuami, red) yang dipraktikkan pengikut Nabi Isa saat itu di luar perintah Allah. Tapi itulah contoh bid’ah hasanah yang juga diakui keabsahannya dalam al-Qur’an,” tuturnya.

Dalam konteks peringatan maulid, kata Syaikh Utsman, umat Islam tak perlu ragu menyelenggarakannya. Maulid Nabi adalah bentuk kecintaan dan kegembiraan atas kehadiran Rasulullah SAW. Kegiatan tersebut sah sebagai upaya tawassul (menjadikan perantara) menuju Allah.

Syaikh Utsman juga mengurai sejumlah kisah kecintaan sahabat terhadap Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuk. Ia mengajak segenap umat Islam untuk senantiasa meneladani nabi terakhir ini di setiap bidang kehidupan.

Banyak Masjid Baru Dibangun di Amerika

Beberapa waktu yang lalu, sebuah masjid baru di bangun di Amerika Serikat (AS), tepatnya di Rowland Heights. Ini merupakan slah satu bukti bahwa pembangunan masjid sedang merebak di Amerika Serikat, baik di negara bagian California Selatan maupun di daerah lainnya.
Jumlah masjid pun meningkat secara signifikan di daerah Mission Viejo, Irvine, Anaheim, Reseda, Rancho Cucamonga, Rosemead, Diamond Bar dan Tustin. Beberapa amsjid baru lagi juga direncanakan akan dibangun di Temecula, Ontario, Lomita dan Corona.
Fenomena pembangunan banyak masjid baru ini, terutama di Rowland Height menjadi sorotan publik AS. Masjid baru ini didanai sepenuhnya oleh kaum muslim setempat, yang telah menetap di daerah tersebut sejak tahun 1960. Hal ini menarik karena sebelum-sebelumnya setiap ada pembangunan masjid baru pasti didanai oleh pihak asing.
Hal ini bisa ditelisik karena pemerintah AS sendiri memperketat pengawasannya pada investasi asing, terutama dari negara-negara Islam, sejak peristiwa teroris 11 September. Kaum muslim di AS juga enggan menerima bantuan dari pihak asing. 
"Ini menjadi mengubah pandangan mereka," kata Direktur Dewan Syura Islam California Selatan, Shakeel Syed, seperti dikisahkan di Los Angeles Times.
Syed mengatakan, setelah persitiwa 11 September, terjadi perubahan yang dinamis pada kaum muslim di Amerika Utara. Mereka pada umumnya mulai sadar untuk mengembangkan dana mereka sendiri. "Meski membutuhkan waktu yang lebih lama," ujarnya.
Syed memaparkan kini banyak kaum muslim di AS yang telah sukses dalam beberapa dekade terakhir. Bisnis mereka pun dirasa aman meski negeri ini diterpa krisis ekonomi karena kaum muslim mampu membeli properti undervalued dan tidak mengambil investasi berisiko.
Kebanyakan masjid di Amerika masih berupa bangunan yang diperuntukkan untuk beribadah. Namun beberapa konsep masjid yang baru, contohnya Islamic Center di San Gabriel Valle, jumlah telah meningkat dalam dekade terakhir. 
Jumlahnya kini menjadi sekitar 632 buah di tahun 2011, meningkat dua kali lipat dari tahun 2000 yang hanya berjumlah 314 buah. Angka ini didapatkan dari American Mosque Study di tahun 2011 lalu.

Machiavelli Ternyata Sempat "Nyantri" di Spanyol Islam

Saat Barat dirundung masa kegelapan (dark ages), dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan (golden ages). Doktrin gereja mengungkung nyaris sebagian kawasan Eropa, sementara dunia Islam membuka diri terhadap sains. Pun, demikian di bidang politik.    

Dunia mengenal betul nama Niccolo Machiavelli, seorang filsuf dan politikus asal Italia. Dia dikagumi lantaran kiprahnya sebagai pencetus politik modern di Eropa.

Dialah yang melepaskan Eropa dari belenggu kediktatoran politik di zaman kegelapan menuju realisme politik di zaman pencerahan. Dialah yang mendobrak kebodohan masyarakat Barat menuju era revolusi dan kebangkitan Barat, renaissance.

Namun, siapa sangka, Machiavelli ternyata pernah pergi ke Andalusia untuk menjadi "santri". Di negeri yang saat itu dikuasai kekhalifahan Umayyah tersebut, ia mempelajari bahasa Arab, kemudian mempelajari politik Islam. Ia mempelajari kitab Muqaddimah, sebuah magnum opus sang maestro politik Islam asal Maroko, Ibnu Khaldun.

Dalam mahakaryanya bertajuk Il Prince (The Prince), Machiavelli banyak mengutip pendapat Ibnu Khaldun. Manuskrip karyanya ini disimpan di Universitas Sorbone, Prancis, tapi perpustakan Alexandria Mesir memiliki duplikatnya dengan isi yang masih sama persis. Berbahasa latin Italia, Il Prince memiliki kutipan-kutipan huruf hijaiah Arab alifIbnu dan khauntuk Khaldun. 

Temuan ini diungkap oleh Direktur Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia Dr Abdul Muta'ali MA MIP dalam penelitiannya. Dia menyarikan pemikiran politik Machiavelli dan Ibnu Khaldun, lalu membandingkan antara keduanya.
Si penulis menemukan banyaknya pengaruh Ibnu Khaldun pada pemikiran Machiavelli. Konsep negara kuat, demikian persamaan pemikiran dua ilmuan politik tersebut.

Baik Ibnu Kholdun maupun Niccolo Machiavelli, memiliki empat konsep pokok yang dibutuhkan untuk membangun negara kuat, yakni peran agama, pemimpin yang kuat, angkatan perang, dan ekspansi militer.
Meski rincian konsepnya berbeda, keduanya memiliki rumusan tujuan yang sama, yakni empat konsep tersebut yang mampu melahirkan negara kuat.

Ziarah kubur menjelang Ramadhan dan Idul Fitri merupakan tradisi yang baik dilakukan

Dengan ziarah kubur, orang diingatkan tentang kematian. Rasulullah bersabda: Aku mohon izin kepada Tuhanku untuk meminta ampun bagi ibuku, namun tidak diperkenankan. Lantas kumohon izin untuk menziarahi kuburannya, maka diperkenankan-Nya bagiku. Karena itu, berziarahlah kalian ke kuburan, karena hal itu bisa mengingatkan kalian akan kematian.

Fenomena kematian merupakan tarbiyah ruhaniyah (pendidikan rohani) yang efektif untuk meningkatkan kadar moralitas keagamaan seseorang. Ini, karena dengan mengingat kematian, seseorang akan berpikir seribu kali bila ingin berbuat maksiat. Orang gampang korupsi, bertindak sewenang-wenang, tiranik, serakah, mau menang sendiri, suka menyakiti orang lain, misalnya, karena tiadanya kesadaran akan kematian.

Itulah sebabnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz selalu berupaya mengingat tentang fenomena kematian itu. Hampir setiap malam beliau kupulkan para ulama untuk bermudzakarah (saling mengingatkan) tentang mati, kiamat, dan akhirat. Kemudian mereka menangis sesenggukan seolah-olah jenazah hadir di tengah-tengah mereka.

Kuburan, tempat jenazah dimakamkan, adalah saksi bisu dari kematian. Sabda Rasulullah saw, ''Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat.''(HR Thabarani dan Baihaqi). Dengan demikian, maka kuburan menjadi semacam tugu peringatan bagi orang yang mudah lalai akan kematian. Hadis riwayat Imam Muslim yang dikutip pada awal tulisan ini mengingatkan kepada kita bahwa dengan ziarah kubur kita senantiasa diingatkan tentang adanya kehidupan lain setelah kehidupan ini. Dan orang yang masih hidup namun menyadari akan kematian, sama halnya dengan orang yang piawai dalam membaca trend masa depan, yang karenanya tidak kaget lagi, dan cakap dalam mengendalikan dunia ini. Karena memang kehidupan yang sekarang adalah rentetan dari kehidupan lain yang akan dilakoni manusia. Dan kematian hanya perhentian sementara dari pekerjaan yang bakal kita lalui itu.

Ziarah kubur sebenarnya bisa dilakukan tidak saja tiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri seperti yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat kita, namun bisa dilakukan kapan saja. Nabi Muhammad saw menyatakan: Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah satu darinya tiap Jumat, maka dosanya diampuni dan ditulis sebagai orang yang berbuat kebajikan.'' (HR Baihaqi).

Maka, makna positif dari ziarah kubur tidak saja pada almarhum atau almarhumah yang didoakan, tapi juga bagi kita buat mempertajam kesadaran akan mati. Di tengah krisis dan banyak tantangan yang dihadapi sekarang ini, sugesti dari keyakinan akan mati ini layak dihidupkan. Karena keinsyafan ini bisa memompa semangat dan optimisme. ''Barangsiapa yang menyadari akan kematian, maka segenap musibah dan kerisauan dunia akan terasa kecil baginya,'' jelas Ka'ab seperti yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

LDNU: Sulit Mencari Da'i Ikhlas di Daerah Terpencil

Menjadi seorang da'i dan da'iyah dituntut keikhlasan dalam menjalankan dakwahnya. Apalagi menjangkau umat yang berada di daerah terpencil dan pedalaman.''Saat ini minim da'i dan da'iyah yang mempunyai keikhlasan dalam perjuangan dakwahnya di daerah terpencil,'' tutur Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Nuril Huda kepada Republika

Nuril memaparkan bahwa saat ini mengirim da'i dan da'iyah dari Jakarta ke daerah terpencil terutama lokasi transmigrasi tidak bisa bertahan lama.''Baru dua bulan da'i dan da'iyah yang dikirm bisanya sudah kembali ke Jakarta. Mereka kurang memahami perjuangan berdakwah,'' tutur dia.

Karena itu LDNU mulai merintis untuk mencetak da'i dan da'iyah yang berasal dari keluarga transmigrasi.''Kita mulai memanggil calon da'i dan da'iyah ke Jakarta untuk dididik berdakwah. Setelah selesai dididik mereka kembali ke daerah asal untuk berdakwah,'' kata Nuril. 

Calon da'i dan da'iyah akan dididik selama satu bulan di pesantren untuk memahi lebih mendalam tentang agama. Dan LDNU juga secara rutin mengirim naskah agama ke daerah terpencil untuk dipelajari lebih lanjut oleh da'i dan da'iyah yang sudah dilatih di Jakarta.

Dalam lima tahun terakhir LDNU sudah mendidik sekitar 700 da'i dan da'iyah untuk diterjunkan ke daerah terpencil. Dan 40 persen diantaranya adalah da'i dan da'iyah yang berasal dari keluarga transmigran.''Karena da'i dan da'iyah yang berasal dari daerah transmigran betul-betul memiliki keikhlasan dan keilmuwan untuk berdakwah di daerah mereka,'' tutur Nuril.

Nuril juga memaparkan bahwa dakwah di daerah terpencil termasuk daerah tujuan transmigrasi sangat penting untuk mendampingi keimanan umat yang mayoritas memprihatinkan.Karena diakui ada beberapa kasus kondisi umat transmigran yang keimanannya minim berpindah agama.''karena itu dakwah di daerah terpencil sangat penting untuk pendampingan umat dan menghindari umat untuk berpindah agama,'' tutur dia. 

Sabtu, 15 Juni 2013

NU Bukan Sekadar Gerakan Kultural

Ketua MWC NU Kecamatan Bangsri Jepara, Jawa Tengah, KH Ahmad Jazuli mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) bukan hanya dipahami dari gerakan kulturalnya saja, melainkan juga gerakan struktruralnya. Keduanya harus disinergikan secara bersama-sama. 

Hal itu merupakan pokok paper Kiai Jazuli untuk materi Ke-NU-an yang disampaikan kepada peserta Latihan Kader Muda (Lakmud) PAC IPNU-IPPNU Bangsri di MTs Hasyim Asyari Bangsri, pada Jum’at (14/6) pagi.

Kiai Jazuli menambahkan, sejauh ini banyak yang menilai NU merupakan gerakan kultural karena kegiatan-kegiatan yang digagas bernuansa kultural. Semisal istighatsah, tahlil,  dibaan, manaqib, yasinan dan sejenisnya. Alih-alih nuansa kultural itu sebut kiai Jazuli kerap menjadi instrumen untuk mengidentifikasi seseorang itu NU atau bukan. 

Meski demikian, ia mengutip pendapat Rais Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Masudi, kekuatan kultural itu menjadi kelebihan NU yang melekat kuat sejak NU lahir. 

Lebih lanjut ia mengemukakan bahwasanya NU merupakan kombinasi dari gerakan kultral dan struktural. Pengelolaan energi NU, lanjut Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) Hasyim Asyari Bangsri Jepara ini, harus dilakukan secara proporsional. 
 
“40 % energi NU untuk melestarikan kultur sedangkan 60% untuk membangun struktur organisasi yang kuat dan kokoh,” jelasnya. 
 
Hal itu sebutnya sejalan dengan falsafah NU yang sangat popular—al muhafadzatu ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Ketua Jurusan program Imersi MA Hasyim Asyari menyatakn falsafah itu memuat 2 poin--al muhafadzah alal qadimis shalih dan al ahdzu bil jadidil ashlah.
 
Poin pertama, sambung Jazuli, NU harus merawat dan melestarikan tradisi. Sedangkan poin kedua NU harus mendesiminasi tradisi baru melalui pembangunan struktur organisasi yang kuat dan kokoh yang berorientasi kepada pelayanan umat, “Kekuatan kultur tanpa diimbangi kekuatan struktural tidak akan banyak berarti. Sebab ikatan-ikatan kultural itu nantinya menjadi sangat rapuh,” imbuhnya. 
 
Karenanya, NU tambahnya harus membangun nizham organisasi yang kuat dan modern untuk membentengi kultur sekaligus memberdayakan Nahdliyyin sehingga manfaat keberadaan NU tidak hanya bersifat kultural namun juga menyentuh semua sendi kehidupan.
 
Kiai Jazuli juga menyatakan untuk melestarikan kultur dan membangun struktur organisasi yang kuat menurutnya semua pemangku kepentingan di NU harus terlibat secara optimal. Baik pemangku pesantren yang menjadi kekuatan NU, pimpinan masjid maupun penggerak roda organisasi dari level tertinggi hingga terbawah. 
 
“Bila gerakan kultur dan struktur dipadukan degan baik maka patut diyakini bahwa NU akan menjadi organisasi terbesar yang kokoh, kuat, berwibawa dan disegani,” harapnya. 

Fosminsa (Forum Silaturahmi Warga NU Surakarta) Diskusikan Masalah Kependudukan

Berbicara masalah kependudukan memang cukup pelik, terutama ketika menyangkut pembahasan administrasi kependudukan. Birokrasi yang berbelit, ketidaksadaran warga akan haknya dan sebagainya menambah kompleks masalah kependudukan. Namun, hal tersebut tidak membuat patah semangat para pegiat Fosminsa (Forum Silaturahmi Warga NU Surakarta) untuk mendiskusikannya.

Jumat siang (14/6) kemarin, satu persatu  masalah dipaparkan para peserta diskusi. Para peserta yang berasal dari perwakilan MWC NU, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan PMII mengkritisi beberapa poin pada peraturan daerah yang mengatur tentang administrasi kependudukan.

“Membuat dokumen kependudukan, itu merupakan hak atau kewajiban warga?” tanya Sulatri, membuka diskusi.

Kemudian salah satu peserta ada yang menimpali, bahwa hal tersebut merupakan hak warga. Amin Rasyadi, perwakilan dari MWC Laweyan bahkan mengatakan bahwa surat kependudukan ini merupakan sebuah hal yang termasuk syariat Islam.

“Membuat KTP itu bukan hanya untuk kepentingan negara atau pribadi, tapi juga dalam hal menjalankan syariat,” tukasnya.

Ia mencontohkan, seandainya ada warga Nahdliyin yang mengalami musibah kecelakaan ketika bepergian, maka KTP akan membantunya sebagai pengenal bahwa ia Muslim, sehingga ia berhak untuk menerima perawatan jenazah sebagaimana mestinya. Hal itulah yang merupakan salah satu upaya pengamalan syariat.

Diskusi yang diselenggarakan di Kantor PCNU Solo ini, ditutup dengan sebuah harapan warga NU mampu mengkritisi masalah ini, dan untuk kemudian dapat memberikan saran atau masukan untuk pemerintah setempat, khususnya dalam ranah kependudukan.

KI ABBAS BUNTET Dari Kitab Kuning hingga Ilmu Kanuragan

Kiai Abbas Buntet, selain menjadi salah seorang tokoh sentral NU, juga pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Pesantren tersebut, hingga saat ini terus tumbuh dan berkembang. Di sana, bukan saja menggelar kitab kuning, tapi mengobarkan semangat juang.

Kualitas pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam sistem pendidikan pesantren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam sistem pendidikan pesantren Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.

Tersebutlah saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kanacah perjuangan.

Kiai Abdullah ukan sekadar tokoh yang berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya. Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pesantren Buntet, ayah Kiai Abdullah sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat.

Kiai Abas adalah putra sulung KH Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.

Ia menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama dan bangsa.

Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah belanda – karena penjajah secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.

Setelah  meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di Dusun Kedung Malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menmghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim dikhabarkan mempunyai gajah putih.

Setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke daerah yang diebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative), Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir tiap hari tentara penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus  begerilya, bila malam hari tiba.

Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu mendampingi mereka. Sementara bimbingan Mhah Qoyyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu  dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadlah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia  pernah berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah Muqayyim niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian.

Tiga tahun pertama, ditunjukkan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan dirinya. Saat itu Mbah Muqayyimlah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren ini  menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.

Dengan demikian, pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf bdi daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. 
Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH Abdul Manaf yang turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.

Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu Syekh Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang karya-karyanya masyhur itu.

Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada  para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH Cholil Balerante- Palimanan, KH Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.

Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet, warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.

Sebagai seorang kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fiqih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fiqih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seurang ulama yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.

Walaupun namanya sudah terkenal diseantero Jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas  menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Duhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu.

Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.

Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai.

Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.

Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya  mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH Anas dan KH Akyas.

Ketika memasuki masa senjanya, Kiai Abbas lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah. Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucunya. Karena itu, Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian padsa masyarakat.

Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya dan memperkaya jiwanya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu  Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya.

Dalam kamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.   
Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah.  
Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh, kekuatan itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH Murtadlo, KH Soleh dan KH Mujahid.

Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH Hasyim Anwar dan KH Abdullah Abbas, putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak di dareah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.

Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu  di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Di antaranya adalah KH Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.

Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.

Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kiai Abbas, sebagai Laskar andalannya, datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu.

Atas restu Hadratus Syaikh, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, Kiai Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng.

Sekitar tahun 1900, Kiai Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, Kiai Soleh Zamzam Benda Kerep, Kiai Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi ang mengganggu pesantren tebuireng kapok tidak berani mengganggu lagi.

Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya. Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan. Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar, terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya penjajahan.

Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946  itu.

Mendengar hasil perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit. Kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Jumat pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.

Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Dan karena itu pula, ketika masa ramainya gerakan reformasi, pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalanagan NU maupun komunitas lainnya.

Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan. (Abdul Mun'im DZ)

KH. A.WAHID HASYIM Dari Pesantren untuk Bangsa

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.



Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.

Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.

Mondok Hanya Beberapa HariAbdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.


Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem PesantrenPada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

Berangkat ke MekkahPada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

MenikahPada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Empat Tahun Sebelum Masuk OrganisasiJangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.

”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.

Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Pokok PemikirannyaSebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.

Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan KenegaraanSelain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri Agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP.

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Sebagai Ketua Umum PBNUKetika Muktamar ke 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Tokoh Muda BPUPKIKarir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.

Musibah di CimindiTanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Ditetapkan Sebagai PahlawanBerdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa. 


Biografi singkat KH. Abdul Wahid Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis oleh KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta.