Jumat, 27 September 2013

Dewan Kesenian Kudus Terbitkan Antologi Puisi Gus Dur

Dewan kesenian Kudus (DKK) bekerjasama dengan Penerbit Forum Sastra Surakarta menerbitkan buku Antologi Puisi buat Gus Dur, “Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel”. Menurut rencana, buku ini akan diluncurkan pada Ahad 28 September 2013 di RM Bambu Wulung Kudus.

Ketua  DKK Aris Junaidi mengatakan, antologi tentang Gus Dur ini ditulis para penyair dari berbagai wilayah di Nusantara. Buku ini menjadi bukti nyata dan kekaguman para penyair terhadap kiprah dan perjuangan Presiden RI keempat.

“Antologi ini bukan hanya sekedar igauan kata-kata semata, melainkan wujud ekspresi dari olah pikir dan rasa yang terinspirasi dari laku hidup Gus Gur,” katanya kepada NU Online di sela-sela acara pelantikan pengurus ISNU Kudus, Ahad (22/9).

Mantan asisten pribadi Gus Dur ini menjelaskan ide mengumpulkan puisi berawal penyair Sosiawan Leak (Solo) sebagai bentuk kerinduan kepada sosok Gus Dur.

“Saya salut pada mereka menulis puisi tentang Gus Dur. Mereka sangat rindu beliau karena sekarang ini sangat sulit mencari sosok seperti Gus Dur,” katanya.

Dikatakan, buku antologi yang baru terbit pertama kali ini berisi 75 puisi yang ditulis penyair Nusantara diantaranya Jumari Hs (Kudus), A’yat Khalili, Abdillah Mubarak Nurin, Abdullah Mubaqi, dan puluhan penyair muda lainnya yang sebagian besar dari luar Jawa.

“Dipastikan,  22 penyair di buku ini sudah menyatakan hadir pada peluncuran buku ini pada ahad (28/9) malam besok di Bambu Wulung,” terang Aris.

Di samping para penyair, peluncuran buku antologi akan dihadiri juga keluarga Gus Dur yang rencananya diwakili oleh Inayah Abdurrahman Wahid. 

Angka Kehamilan Remaja Luar Nikah Memprihatinkan

Angka kehamilan remaja di luar nikah yang terjadi di Kabupaten Purworejo sangat memprihatinkan. Hingga September ini tercatat 132 remaja yang hamil diluar nikah. Angka tersebut baru yang tercatat di Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo. Sementara yang tidak tercatat tentu lebih banyak lagi.

Hal itu diungkapkan Anny Retno Priastuti dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, di depan seratusan pelajar menengah pertama se-Kabupaten Purworejo pada Pembinaan Remaja yang diselenggarakan oleh Kesbangpolinmas Purworejo bekerjasama dengan Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) Purworejo, Selasa (24/9) kemarin.

Saat menyampaikan materi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), Anny mengaku prihatin dengan perilaku kenakalan remaja saat ini. Kurangnya kesadaran akan pendidikan seks pada usia remaja oleh orang tua dan guru di sekolah disinyalir menjadi salah satu pemicu maraknya kasus kehamilan remaja di luar nikah.

“Pendidikan seks pada usia remaja sangatlah penting disampaikan kepada pada remaja kita. Tujuannya supaya mereka memperoleh pengertian tentang seks yang benar. Sehingga mereka menjadi lebih waspada dan berhati-hati untuk tidak melakukan kegiatan yang menyimpang karena tahu bahaya yang mengancamnya,” tutur Anny.

Narkoba Masuk Desa

Pemateri lain AKP Yudi Ruslan selaku Kasat Narkoba Polres Purworejo mengatakan, narkoba dari prespektif hukum negara sangat melanggar karena merupakan tindakan kriminal. Pihak kepolisian Polres Purworejo selama ini telah banyak mengungkap kasus Narkoba yang terjadi di Purworejo.

“Narkoba sekarang tidak hanya terjadi dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Namun di Purworejo, bahkan di daerah Kaligesing, Pituruh yang notabene daerah pegunungan dan pedesaan juga sudah terkena Narkoba,” katanya.

AKB Yudi Ruslan menghimbau agar para pelajar berhati-hati terhadap barang haram ini karena Narkoba bekerja untuk merusak syaraf penggunanya. Menurutnya, modus peredaran Narkoba sangat halus dan sulit terdeteksi. Target dari peredaran Narkoba biasanya para pelajar.

“Kalian adalah generasi penerus bangsa. Jangan sekali-kali mencoba menggunakannya. Hati-hati dalam bergaul, karena sekali terkena masa depan kalian pasti hancur.”tegasnya.

Sementara itu, Khotimatuz Zahra selaku ketua panitia mengatakan, kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan IPNU-IPPNU terhadap perilaku kenakalan remaja akhir-akhir ini. 

“Pada pembinaan remaja kali ini mereka dibekali tiga materi pokok, yaitu bahaya narkoba dalam prespektif hukum, bahaya narkoba dalam prespektif kesehatan serta kesehatan reproduksi remaja,” pungkasnya.

Warna-warni Kiswah Ka`bah dari zaman ke zaman

Sejarah Kiswah
Menurut sejarah, sejak zaman nabi Ismail AS, Ka’bah sudah diberi Kiswah, meskipun tidak ada catatan bagaimana bentuk, warna maupun desainnya. Catatan paling awal menyebutkan pada Raja Himyar Asad Abu Bakr dari Yaman melindungi Ka’bah dengan sebuah kain tenunan.

Tradisi ini terus dilanjutkan oleh para penguasa atau raja yang menguasai wilayah Ka’bah. Pada masa leluhur Rasulullah, Qusay bin Kilab, pemasangan kiswah pada Ka’bah menjadi tanggung jawab masyarakat suku Quraisy.

Rasulullah pernah memerintahkan pembuatan Kisah dari kain Yaman, sedangkan Khulafaur Rasyidin, Kiswah dibuat dari benang kapas. Selanjutnya pada dinasti Abbasiyah, Khalifah ke-4 al-Mahdi memerintahkan kiswah dibuat dari kain sutera Khuz yang didatangkan dari Mesir dan Yaman. Pada masa kekuasaan Muawiyah I, Kiswah diganti dua kali setiap tahunnya, dan tradisi ini diakhiri oleh Al-Nasir dari Abbasiah yang mengganti Kiswah setiap satu tahun sekali.

Tidak ada ketentuan Kiswah harus berwarna hitam sebagaimana yang berlaku saat ini. Kiswah dari kain tenunan Yaman berwarna merah, lalu pada masa Khalifah Mamun ar-Rasyid, Kiswah berwarna putih. Saat Khalifah An-Nasir, Kiswah berwarna hijau. Warna kuning juga pernah digunakan atas perintah Muhammad bin Sabaktakin.

Keputusan penggunaan warga hitam dilakukan oleh Khalifah Al Ma’mun dari dinasti Abassiyah, yang risau dengan pergantian warna Kiswah setiap tahunnya yang merupakan tempat paling suci bagi umat Islam ini, dan tradisi tersebut berlaku sampai sekarang.

Sejak era Sultan Sulaiman yang memerintah Mesir pada sekitar tahun 1525-an sampai masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya sekitar akhir tahun 1920-an Kiswah didatangkan dari Mesir bersama rombongan haji dari Mesir yang diketuai oleh seorang amirul hajj. Bahan pembuatan Kisah didatangkan dari Sudan, India, Mesir and Irak.

Pada perang dunia pertama, situasi keamanan yang memburuk membuat Kiswah dari Mesir datang terlambat. Hal ini mendorong Raja Ibnu Saud  membuat Kiswah sendiri, karena setiap 10 Zulhijjah, kiswah lama harus diganti baru. Setelah situasi keamanan pulih, Raja Farouq I dari Mesir kembali mengirimkan Kiswah ke Makkah, tetapi penguasa Saudi memutuskan membuat pabrik Kiswah sendiri pada 1927, yang berjalan sampai sekarang.

Perlu keahlian tersendiri untuk membuat Kiswah, yang dibuat dari benang berwarna emas dan membentuk kaligrafi yang sangat indah serta memiliki nilai seni yang luar biasa.

Saat ini, pembuatan Kiswah menelan biaya SAR 17,000,000 atau sekitar 51 milyar Rupiah. Kiswah tersebut terbuat dari kain selebar 658m2 dari 670 kilo sutra. Sulamannya terbuat dari 15 kg benang emas. Kiswah tersebut terdiri dari 47 lembar kain, yang masing-masing sepanjang 14m dengan lebar 101 cm. Sebelumnya, kiswah dikerjakan secara manual, tetapi perlahan-lahan dibantu dengan komputer, sehingga mempercepat waktu penyelesaiannya. 
Tak heran, dengan nilai nominal dan keindahan yang dimiliknya, pemerintah Saudi berusaha menjaga kiswah tersebut dari berbagai kerusakan, termasuk dari sentuhan-sentuhan jamaah selama musim Haji.

Kang Said Tekankan Instropeksi Ketimbang Menyalahkan

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (Kang Said) mengajak seluruh umat Islam untuk lebih mengedepakan instropeksi diri daripada menyalahkah pihak lain atas segenap persoalan yang tengah dihadapi.

Menurut dia, sejumlah kemunduran tak harus disebabkan hanya oleh kelompok di luar. Karena faktor utama itu terkadang justru hadir dari diri sendiri.

“Kita yang salah, bukan orang lain. Bukan Amerika atau lainnya, kita yang paling salah,” ujarnya dalam taushiyah peringatan hari lahir (harlah) ke-9 The Wahid Institute di Jakarta, Kamis (27/9).

Pada momentum harlah lembaga yang didirikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, Kang Said juga mengajak para hadirin yang datang untuk meneladani Gus Dur sebagai tokoh memiliki prinsip, tapi rileks dan sederhana.

Kang Said juga menilai pentingnya analisa dan penggalian secara terus-menerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur selama masa hidup.“Tanpa itu semua maka khazanah itu akan hilang. Karena al-hayatu tajribatun,  al-hayatu tajarubul umam (kehidupan adalah kumpulan dari percobaan),” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali juga menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan Gus Dur adalah kelanjutan dari perjuangan ulama-ulama NU terdahulu

Sabtu, 07 September 2013

Makna Kembali ke Pesantren

Tiga puluh tahun yang lalu yakni tahun 1984 tepatnya di Situbondo, NU mencanangkan gerakan "Kembali ke Khittah 1926". Langkah strategis itu telah membawa kemajuan yang sangat berarti bagi NU, sehingga menjadi organisasi yang besar, kuat dan disegani. Pada hakekatnya kembali ke Khittah adalah kembali pada spirit, pola pikir serta nilai luhur pesantren.
Karena itulah pada periode ini NU mencanangkan gagasan besar Kembali Ke Pesantren, sebagai realisasi mengembalikan Khittah serta jati diri NU yang lahir dan besar di Pesantren. Maka sudah selayaknya dalam usianya yang ke-90 tahun ini NU menegaskan kembali gagasan mulia tersebut.

Pesantren merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman Kapitayan, sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan dengan agama besar tersebut pesantren mengalamai perubahan bentuk dan isi sesuai dengan karakter masing-masing agama, tetapi misi dan risalahnya tidak pernah berubah, yaitu memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi maupun kenegaraan.

Sejak awal pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat mulai dari bidang agama, kanuragan (bela diri), kesenian, pereonomian dan ketatanegaraan. Karena itulah para calon pimpinan agama, para pujangga bahkan para pangeran calon raja dan sultan semuanya didik dalam dunia pesantren atau padepokan. Para pandita, panembahan atau Kiai yang mengasuh para murid, cantrika atau santri dlam belajar sehari hari.

Zaman Islam terutama pada masa Walisongo, pesantren yang semula bernuansa Hindu-Budha mulai mendapatkan nuansa Islam, sejalan dengan tersebarnya agama baru ini. Dari pesantren itulah agama diajarkan secara luas di tengah masyarakat. Dan diajarkan secara mendalam, dengan mempelajari berbagai kitab babon, sehingga melahirkan ulama atau kiai besar yang menjadi penerus perjuangan para wali. Berbagai kitab yang diajarkan di pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya semuanya berasal dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Metode itulah yang terbukti berhasil melahirkan berbagai ulama dan pujangga serta sultan yang berpengaruh dalam sejaha Islam Nusantara. Paku Buwono VI dan Panageran Sambernyowo (Mangkunegoro I) juga Pangeran Diponegoro tokoh besar yang piawai dalam politik dan lihai dalam perang, tak pernah terkalahkan dalam perang, semuanya murni hasil pendidikan politik pesantren.

Baru ketika kolonial datang dengan kebijakan Politik Etisnya tahun 1900, memperkenalkan  pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah terjadi dualisme pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semua terpadu mulai dipisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena pendidikan Barat tidak mengenal ilmu agama, hanya mengenal ilmu umum sementara pendidikan pesantren saat itu mengintegrasikan keduanya.

Hadirnya pendidikan kolonial yang diperkenalkan secara persuasip maupun represi itu, menjadikan sekolah menjadi pendidikan tunggal yang menggeser posisi pesantren. Ketika politik diarahkan pada paradigma Barat, sehingga belajar hukum dan politik harus ke Sekolah Barat bukan lagi ke pesantren seperti para sultan sebelumnya. Sementara pesantren yang menjalankan politik anti tasyabuh atau non kooperasi total, menolak segala bentuk budaya Belanda. Pesantren terus berjalan dengan paradigmanya sendiri, namun demikian tetap melahirkan tokoh besar yang tak terkalahkan. Hampir seluruh perlawanan terhadap penjah dilakukan oleh pimpinan pesantren. Kalaupun dilakukan oleh Kraton, tentu melibatkan para kiai dan santri dari pesantren.

Para tokoh besar Islam seperti KH Ahmad Rifai, KH Hasyim Asy’ari, adalah tokoh pergerakan nasional yang mampu menggoncangkan kekuasaan Belanda, walau tak sekejappun merasakan pendidikan sekolah Belanda. Demikian juga KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, yang piawai dalam politik, sehingga sejak tahun 1943-an telah menjadi Pimpinan Shumubu (Menteri Agama) dan ketua Masyumi, mewakili KH Hasyim Asy’ari. Dan pada Sidang BPUPKI Menjadi anggota perumus Pancasila dasar negara dan perumus Mukadimah UUD 1945, sehingga konsep filosofis itu menjadi sangat religius ketika mendapatkan muatan nilai pesantren. Kiai Wahab sendiri yang merupakan politik ulung mitra Bung Karno, terutama dalam menghadapi persoalan kenegaraan, padahal hanyalah murni dididik di Pesantren. Justeru dengan keilmuan pesantren itulah bisa melengkapi politik Barat yang dianut oleh Bung Karno.

Ketika Konstituante mengalami jalan buntu, para kiai dari Pesantren justeru memberikan jalan keluar yang kreatif, sehingga Bung Karno dengan mudah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, Kembali ke UUD 1945, setelah berkonsultasi dengan NU, terutama dalam menempatkan Piagam Jakarta secara proporsional. Tidak ditetapkan secara formal, tetapi juga tidak diabaikan perannya, tetapi ditempatkan sebagai jiwa bagi UUD 1945. Walaupun politik sering dituduh anti moral, tetapi seburuk-buruk politik apapun maih membutuhkan moral, agar relasi antar pelaku bisa berjalan. NU menawarkan gagasan moral atau akhalakul karimah dalam politik, karena itu NU bisa ambil peran.

Deideologisai serta depolitisasi pesantren yang dilakukan rezim orde baru telah mengarah pada deNUnisai, kebijakan itu berakibat menjauhkan peran NU dan pesantren dalam  politik. Apalagi sejak zaman reformasi ketika gelombang globalisasi dan liberalisasi melanda seluruh dunia termasuk negari ini, maka nilai moral dalam kehidupan sosial, gotong royong semakin memudar, dalam bidang seni budaya etika telah ditinggalkan digantikan dengan estetika yang hanya mengumbar nafsu dan kemewahan dunia. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan bebas saling memangsa. Sementara dalam bidang politik etika atau fatsoen politik diangap sebagai doktrin lama yang harus ditinggalkan.


Makna Kembali ke Pesantren

Mengingat suasana kehidupan pasca Reformasi yang diwarnai dengan globalisasi dan liberalisasi yang melanda seluruh sektor kehidupan itu tidak ada cara lain bagi NU kecuali kembali ke pesantren, untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat sejalan dengan tradisi dan etika. Kembali kepesantren memiliki dua pengertian baik secara fisik maupun secara nilai dan tradisi, yang merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dari satu sistem pesantren yang sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.

Pertama, kembali ke pesantren dalam arti fisik berarti mengembalikan keseluruhan kegiatan NU mulai dari rapat pleno, konferensi, rapat kerja, Munas hingga Muktamar, kembali dipusatkan di pesantren yang menjadikan pesantren. Dengan segala keterbatasannya terbukti pesantren mampu menyedaikan suasana yang jauh kondusif ketimbang tempat lain sehingga  keakraban dan keseriusan serta kesederhanaan bisa tercipta. Ketika langkah kembali ke pesantren dilakukan terbukti berhasil kembali mendekatkan NU dengan tradisi pesantren norma serta moralnya, dan sekaligus memperkuat kembali institusi pesantren  sebagai pusat perubahan  pengembangan masyarakat. Peran pesantren kembali dilihat dan diperhitungkan orang.

Kedua, kembali ke pesantren dalam arti tata nilai, dalam arti pesantren selalu menekankan pada nilai kejujuran, kesederhanaan, kebersamaan dan pengabdian yang mendalam dan tanpa batas. Dari nilai-nilai tersebut tumbuh etos, rasa saling percaya, budaya gotong royong, kecintaan pada ilmu dan profesi tanpa batas, sebagi bentuk pengabdian pada Allah, yang ditasarufkan sebesar-besarnya pada kemaslahatan umat manusia. Langkah ini sebenarnya biasa saja. Tetapi karena dijalankan di tengah maraknya individualisme bahkan egoisme persaingan bebas tanpa belas kasihan, maka langkah Kembali Ke Pesantren ini terasa radikal dan kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena ini berarti menentang arus yang sedang berjalan, yaitu individualisme, pragmatisme yang melanda dunai saat ini, yang seolah menjadi nilai kehidupan tertinggi.

Pendidikan pesantren diberikan oleh seorang ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangkan ilmunya telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan demikian otentisitas sanad (mata rantai) keilmuannya menjadi jelas, sehingga pemahamnnaya bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu segala ilmu dan amalan diajarkan secara bertahap dan thuluz zaman (dalam waktu yang lama). Ilmu dan amal yang dikerjakan menjadi sangat hakiki dan mendalam. Sang kiai atau sang panembahan merupakan guru pembimbing yang menjadi contoh teladan bagi santri dalam kehidupan.

Pendidikan pesantren diselenggarakan secara tertib, memakan waktu yang lama, agar memperoleh pemahaman hakekat segala sesuatu secara mendalam, sehinga memudahkan membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Dimensi kedalaman ini sangat ditekankan di pesantren mengingat firman Allah, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ 

Artinya: “Wahai manusia sesungguhnya janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia menipumu, dan jangan kamu terkecoh oleh tipuan yang mengatas namakan Allah.” (QS: Al Fathir: 5)

Hal itu terbukti, sekarang ini banyak kesalehan yang ditampakkan secara lahiriah, bahkan sikap ketaatan dan kedisplinan beribdah begitu tinggi dan kesemarakan yang kompak. Tetapi pada saat yang bersamaan pelanggaran terhadap norma-norma agama terjadi pada orang yang bersangkutan. Bahklan tingkat kejahatannya melebihi orang tidak mengenal agama. Padahal semua perilaku mereka dan kelompoknya atas nama agama. Ini tidak lain karena pendidikan atau tarbiyah yang dijalankan serba instan. Hanya mengutamakan kedisiplinan fisik. Tidak diisi dengan kerohanian yang mendalam. Agama yang diajarkan secara instan dan dangkal serta sepintas, hanya menjadi kedok, mudah menjadi alat manipulasi.

Padahal perbuatan yang memamerkan amal tetapi tanpa isi seperti itu menurut Allah merupakan kedurhakaan, sebagai difirmankan,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Artinya: “Kami akan memberi tahu kamu tentang  orang yang amalnya paling merugi; yaitu orang yang sia-sia amalnya di dunia ini, padahala mereka menyangka dirinya telah beramal baik.” (QS: Al-Kahfi 103-104)

Dalam amaliah sehari-hari termasuk dalam ibadah, terdapat perbedaan yang tipis antara yang benar dan yang salah, karena itu para ulama pesantren menjaga agar para santri berhati-hati dengan jebakan tersebut. Bimbingan seorang guru, mursyid atau kiai pada umat menjadi sangat penting untuk menghindari pengerjaan amalan yang sia-sia seperti itu. Aktivitas berkedok agama tetapi untuk tujuan duniawi semata.

Di sinilah pentingnya kembali ke pesantren untuk kembali menegakkan moralitas dan nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarah Nusantara. Ajaran dan hikmah yang diamalkan para ulam terdahulu itu sangat penting justeru dalam situasi globalisasi yang serba tidak menentu saat ini.

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Budaya Nusantara

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pesantren merupakan budaya asli Nusantara, yang mengembangkan nilai kenusantaraan lestari hingga sekarang. Antara sultan dengan wali (ulama) merupakan satu kesatuan, hal itu secara kelembagaan berarti menyatunya antara kesultanan atau keraton dengan dunia pesantren yang terjalin mulai Samudera Pasai di Aceh, Di Jawa hingga Ternate Todeore di Maluku dan Papua.

Secara berangsur hubungan itu renggang bahkan terpisah, berdiri sendiri tanpa saling mengisi, bermula sejak zaman Belanda dan berlangsung hingga zaman orde baru. Padahal mulanya mereka sekeluarga. Dalam keterpisahan itu keduanya mengalami kemerosotan. Tetapi pihak kesultananlah yang paling merasakan akibatnya. Bisa dibuktikan, sekarang ini hanya tingga dua atau tiga kesultanan yang masih hidup dan berkuasa, yang lain tinggal nama, ataupun dihidupkan kembali tetapi tidak punya rakyat, tidak punya tentara. Bayangkan dengan dunia pesantren, ketika ditindas Belanda dan direpresi orde baru, tetapi masih terus hidup. Saat ini umumnya pesantren yang jumlahnya  ribuan itu ada yang memiliki santri dua ribu hingga lima ribu orang. Bahkan organisasi kepesantrenan masih memiliki kekuatan para-militer terlatih yang jumlahnya bisa ribuan orang. Hal yang sama tidak dimiliki oleh Kraton atau kesultanan manapun di Nusantara.

Belakangan ini keraton baru menyadari kelemahan tersebut, bersamaan dengan kunjungan Para Sultan Nusantara mereka mengatakan, selama ini mereka mengalami kelumpuhan ketika para Sultan berjalan tanpa Wali, sehingga posisi mereka semakin terpuruk tidak ada yang bisa menolong. Menurut mereka walinya Republik Indonesia saat ini adalah pesantren yang dipimpin oleh NU. Karena itu mereka mulai merasa pentingnya kerjasama dengan organisasi kepesantrenan seperti NU, sebagai upaya mengembalikan wibawa kesultanan sebagaimana dahulu kala.

Sejak ditaklukkan Belanda kesultanan sebenarnya telah ditundukkan secara moral dan intelekual. Akhirnya mereka sepenuhnya berkiblat ke barat ketika berpolitik. Apalagi sejak awal mereka mendapatkan hak istimewa untuk bisa sekolah Belanda, yang menjadikan mereka semakin menjadi westernis, yang semakin menjadikan mereka terpuruk. Nilai kenusantaraan terutama nilai keagamaan semakin mereka tinggalkan, apalagi pesantren yang dulu mendampingi, membimbing dan mengarahkan mereka telah diganti dengan penasehat dari Belanda dan Eropa lainnya maka Kesultanan semakin jauh dari rakyatnya. Karena itulah masa kemerdekaan mereka dihancurkan bersama hancurnya kolonialisme. Sementara kaum santri bergabung dengan kaum Republiken yang dengan aktif mendirikan Republik ini.

Munculnya resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeliarkan KH Hasyim Asyari merupakan keterlibatan pesantren dalam mendirikan Repuiblik ini. Kalangan ulama pesantren lebih sigap dalam membaca perubahan saat itu, sementara kesultanan masih terikat oleh berbagai perjanjian dengan Belanda sehingga mereka ketingalan langkah dalam mengambil kepemimpininan di negeri ini, saat menjelang berdirinya Republik ini.

Dengan ketemunya kembali dua elemen penting Nusantara yaitu antara kesultanan dan pesantren diharapkan Indonesaia bisa menemukan jatidirinya kembali. Karena keduanya sebenarnya pemangku utama budaya Nusantara yang berpegang teguh pada nilai tradisi dan norma agama, yang ini telah tertanam dan terjalin sejak berabad yang lalu yang telah dirintis oleh para wali sejak datangnya Islam di Nusantara. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri, kembali pada nilai-nilai Nusantara menjadi sangat mendesak saat ini, sebab apa yang dirumuskan dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita seperti Pancasila adalah merupakan produk dari falsafah dan budaya Nusantara. Karena itu nilai kenusantaraan dan kepesantrenan perlu terus digali bersamaan dengan proses menemukan jati diri bangsa ini.

Bersamaan dengan derasnya gelombang globalisasi yang membawa arus leiberalisasi, telah melonggarkana seluruh ikatan keluarga, ikatan sosial bahkan ikatan agama. Padahal tanpa ikatan agama, tanpa ikatan keluarga dan tanpa ikatan sosial, maka norma dan moralitas sulit dijalankan. Karena pada dasarnya agama, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat merupakan persemaian berbagai norma dan etika. Kembali ke pesantren diartikan sebagai kembali pada norma kelluarga, norma sosial, karena dalam lingkungan itulah norma agama ditumbuhkan dan diinternalisasi menjadi perilaku dalam kehidupan.


Melahirkan Sosok Ideal

Setiap gagasan besar atau perkumpulan besar selalu membutuhkan tipe ideal atau sosok ideal bagimana kira-kira gagasan atau cita-cita perkumpulan tersebut dicitrakan dan diwujudkan di alam nyata dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah kita munculnya tokoh yang diidealkan itu sangat lazim. Sosok ideal gagasan tentang Indonesia antara lain adalah Soekarno, Hatta dan sebagainya. Sosok Ideal NU misalnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, di Muhammadiyah terdapat sosok yang diidolakan seperti KH. Ahmad Dahlan. Dalam Sarekat Islam terdapat HOS Tjokroaminoto. Sosok semacam itu tidak hanya memiliki daya pikat, tetapi sekaligus memiliki daya ikat, sehingga mampu menjaga kohesivitas ide yang masih abstrak atau cita-cita perkumpulan atau organisasi yang masih utopis. Di dunia sana juga sama dalam Swadesi ada Gandhi, dalam Pan Islam ada Al Afghani. Para Nabi sendiri merupakan sosok ideal dari setiap agama yang mereka bawa.

Sosok semacam itu dianggap contoh paripurna dalam sebuah idea atau perkumpulan. Seringkali mereka ditempatkan sebagai makhluk supra manusiawi, sosok yang tidak pernah salah, paling banter hanya khilaf dan itupun sangat dimaklumi dan segera dimaafkan oleh pendukungnya. Dengan demikian  mereka menjadi panutan, pemberi inspirasi, memberikan rasa bangga dan rasa percaya diri, memberi harapan dan bahkan memberikan rasa aman bagi para pendukungnya. Kelebihan mereka adalah tidak hanya bisa memberikan mauidloh hasanah (nasihat yang baik) tetapi mampu memberikan uswatun hasanah (teladan yang baik). Keteladanan itulah kunci utama bagi sosok idel tersebut.

Dalam masyarakat dan bangsa ini muncul keprihatinan yang mendalam tentang tidak hadirnya sosok ideal yang diharapkan itu. Apalagi dalam masyarakat yang percaya akan datangnya Ratu Adil, Imam Mahdi atau Mesias itu sering merasa kecewa. Setiap muncul sosok yang dianggap akan menjadi sosok ideal apakah itu dari kalangan ilmuwan, politisi, seniman dan bahkan agamawan yang menjadi panutan dan dielu-elukan, tetapi tiba-tiba sang idola terjebak berbagai kasus pelanggaran moral. Pengalaman seperti ini yang selalu membuat masyarakat frustrasi. Munculnya para aktivis terutama kalangan muda di panggung politik, yang diharapkan mampu membawa perbaikan, ternyata tidak memberikan harapan, malah terjerumus dalam praktek politik yang mengabaikan norma dan etika.

Untuk mengatasi rasa frustrasi dan memberikan kepercayaan serta harapan bagi masyarakat saat tidak hadirnya sosok ideal yang berupa manusia yang ditokohkan, maka orang harus mulai realistis dan memahami gerak zaman terjadi. Dengan tidak adanya sosok ideal masyarakat tidak perlu kehilangan arah, kehilangan tuntunan dan juga lepas kendali, karena masih ada yang bisa dijadikan pegangan bukan orang per orang melainkan berpegang pada ide, wahyu dan termasuk organisasi atau jamaah, yang kemurniannya terus dijaga oleh pendukungya.

Dalam kondisi seperti ini dimana pribadi yang seperti Nabi atau Rasul tidak ada, maka uswah atau teladan kita bukan orang, tetapi cita ideal jamaah atau organiasai yang berpegang teguh pada cita-cita dan tata nilai. Karena jamaah merupakan cerminan dari ajaran Allah dan Rasulnya sebagaimana difirmankan.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Apabila terjadi perselisihan, maka kembalilah kepada Allah dan rasulnya”. (QS. An-Nisa’:59)

Kita kembali ke sana karena keduanya merupakan simbol kebenaran mutlak, untuk itulah para ulama yang merupakan amna’ul ummat (kepercayaan umat) menjadi panutan karena mampu memahamkan umat dan mendekatkan pada kebenaran. Sebagai langkah untuk mewujudkan Islam ideal sebagai rahmatan lil alamin, sebagaimana tercermin dalam Al-Quran dan Hadis yang masih ijmal (umum) itu bisa terapkan maka diperlukan upaya pemahaman kreatif secara kolektif (ijma’) atau secara individual (qiyas).

Upaya pemahaman manusia terhadap realitas selain menggunakan bayan ilahi (pemahaman Ilahi) yaitu al-Quran dan Sunnah juga dilakukan dengan menggunakan bayanul aqli (pemahaman akal) yaitu ijma’ dan qiyas, maka lahirkan ilmu fikih, sehingga masyarakat mampu menjalankan agama dengan terinci dan operasional. Tentang cara menjalankan sembahyang, kapan waktunya dan bagaimana syarat rukunnya. Tata cara zakat, puasa haji dan lain sebagainya. Agar gugusan moral yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah itu dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari, dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan tatakrama. Dengan adanya ilmu fikih dan ushul fikih itu pemahaman agama menjadi dinamis. Sejalan dengan prinsip taghaiyirul ahkam bi taghyiril azman (hukum fikih selau berubah sejalan dengan perbahan zaman). Setiap zaman memerlukan rumusan hukum tersendiri.

Kontekstualisai ajaran Islam agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama NU terus melakukan reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh dengan kerendahan, dalam menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan ilhaq (penyamaan) atau istiqrai (survai). Sementara untuk menghindarkan istilah ijtihad yang terlalu besar digunakan istilah ijma (yang berarti ijtihad secara kolektif). Dengan menggunakan Ilmu ushul fikih (metode pengambilan hukum) itulah Al-Quran dan Sunnah bisa dipahami. Karena itu kebenaran fikih itu bersifat relatif, berbeda dengan Al-Quran dan Sunnah kebenarannya adalah mutlak, karena itu fikih bisa dikritik dan direvisi demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara eksklusif, karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua pihak.

Agar kemaslahatan umat terus terjaga maka perlu dilakukan berbagai langkah konkret, sebagai masyarakat beragama yang telah memiliki berbagai instrumen agama untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah, maka instrumen keagamaan itu yang digunakan terutama yang sudah dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah. Berbeda dengan logika Aristotelian yang bersifat abstrak dan spekulatif, logika yang dibagun ilmu fikih dalam kaidah fiqhiyah merupakan instrumen praktis sebagai sarana penyelesaian masalah. Misalnya prinsip dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mencari kebaikan). Ini untuk mencegah terjadinya perubahan yang asal berubah, karena tidak akan membawa maslahah. Perubahan perlu direncanakan secara rapi dan terinci serta hati-hati.

Begitu pula dalam menghadapi budaya dari luar terdapat prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Mengingat tujuan pengambilan dan pengembangan budaya adalah untuk perbaikan maka pengambilan tradisi lain dibolehkan asal lebih baik, sehingga diharapkan akan menjadi modal bagi pengembangan budaya yang ada. Begitu pula dalam mencapai kemaslahatan tidak boleh dengan menggunakan kemaksiatan. Sebagaimana hukum logika, penyimpangan yang dijalankan terus menerus akan melahirkan penyimpangan dalam bentuk lain yang lebih jauh, yang tidak mungkin melahirkan kebajikan.

Dalam khidmahnya selama 90 ini NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh para ulama berusaha keras untuk mewujudkan terwujudnya masyarakat ideal. Satu dasawarsa mendatang kiprah NU telah genap 100 tahun. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini menurut NU adalah bentuk ideal dari sebuah negara. Hanya saja negeri ini masih dilanda berbagai krisis, baik krisis budaya termasuk krisis moral. Prinsip akhlakul karimah dalam semua aspek kehidupan perlu ditegakkan kembali agar bentuk dan dasar negara yang ideal ini menjadi semakin ideal. Diharapkan dalam usianya yang seabad itu NU memapu mewujudkan cita-cita sosial dan cita-cita kebangsaan ini secara penuh. Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi dengan sendirinya peran NU ini juga memberikan manfaat sebesar-besarnya pada semua elemen bangsa yang majemuk ini, baik majemuk dari segi agama, etnis, bahasa dan budaya.

Dalam kondisi kelangkaan kepemimpinan ideal seperti yang diprihatinkan selama ini maka  menciptakan lingkungan yang ideal menjadi sangat penting. Usaha ini  ibarat mengolah lahan agar muncul pemimpin ideal sebagaiman yang dicita-citakan. Seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Lingkungan masyarakat yang berbudaya rendah akan melahirkan pemimpin yang berkepribadian rendah. Sebaliknya lingkungan masyarakat yang berkebudayan tinggi akan melahirkan pemimpin yang berbudaya dan berintegritas tinggi. Memang seorang pemimpin tidak jatuh dari langit, melainkan diproses ditempa di tengah masyarakat. Pemimpin yang baik akan muncul di antara sekian banyak tokoh yang paling unggul di antara tokoh yang ada. Dengan langkah seperti itulah NU berusaha mengembalikan lagi spirit pesantren dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pergaulan sosial, ekonomi serta kenegaraan.



Jakarta 16 Rajab 1434/27 Mei 2013

DR. KH Said Aqil Siroj, MA. Ketua Umum PBNU

Politik NU sebagai "Siyasah 'Aliyah Samiyah"



Sebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan جمعيّة دينيّة إجتماعيّة (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman أهل السّنّة والجماعة di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.
Tugas ini tidaklah sederhana, di tengah-tengah era keterbukaan yang memberi peluang masuknya aliran-aliran dan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung memanfaatkan kebebasan untuk mencaci maki dan menyesat-nyesatkan (تضليل), bahkan menkafir-kafirkan (تكفير) terhadap pihak lain yang berbeda pemahaman keagamaan dengan dirinya. Padahal seharusnyalah era keterbukaan dan kebebasan membuat setiap kelompok semakin memantapkan sikap toleran (تسامح) dalam menyikapi perbedaan.
Alangkah dalamnya makna ungkapan Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kaitan ini:
مذهبنا صواب يحتمل الخطأ, و مذهب غيرنا خطأ يحتمل الصواب
(Pendapat saya benar namun mungkin memuat kesalahan, pendapat orang lain salah namun mungkin juga ada benarnya: Red)
Menghadapi kenyataan yang tidak menggembirakan tersebut, menjadi tugas PBNU untuk menggerakkan secara optimal perangkat organisasi yang terkait dengan fungsi menjaga, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam ASWAJA, seperti mendorong optimalisasi peran dan kinerja Lembaga Dakwah NU (LDNU), Lembaga Takmir Masjid NU (LTMNU) dan Lajnatut-Ta’lif wan-Nasyr NU (LTNNU). Dengan pendekatan حكمة dan موعظة حسنة dapat dipelihara kelangsungan ajaran ASWAJA, tanpa harus terlibat dalam tindakan-tindakan anarkhis yang sangat merugikan citra paham ASWAJA sebagai representasi ajaran Islam رحمة للعالمين.

Sebagai organisasi sosial (جمعيّة إجتماعيّة), NU harus mencurahkan perhatiannya secara serius pada bidang sosial, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa.
Hal ini perlu diingatkan, menjelang tahun 2014 yang merupakan tahun politik bangsa kita, karena dikhawatirkan tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ), yang bergerak pada tataran politik praktis alias politik kekuasaan.
Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/سياسة سافلة) adalah porsi  partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/سياسة عالية سامية ), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.

Politik kebangsaan berarti NU harus إستقامة dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.
Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU (أخوّة نهضيّة) dapat terpelihara. Sebaliknya,manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, أخوّة نهضيّة akan tercabik-cabik, karenanya نعوذ بالله من ذلك !
Oleh karena itu, sinyalemen adanya Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah di beberapa daerah yang dicalegkan dan lain sebagainya, wajib mendapatkan respons yang sungguh-sungguh dari Rapat Pleno ini, sesuai dengan ketentuan AD/ART tentang larangan rangkap jabatan.

Kiranya inilah pesan dan arahan yang perlu kami sampaikan.
DR. KH. M. A. SAHAL MAHFUDH
Rais ‘Aam PBNU

*Sambutan dan Pengarahan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) disampaikan pada Rapat Pleno PBNU tanggal 6-8 September 2013 di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah

Jumat, 06 September 2013

Nahdliyin Pahami Ilmu Tidak Hanya Kulitnya

Warga nahdliyin diharapkan tetap memegang teguh ke-NU-an, terutama dari ancaman orang-orang Wahabi yang berkedok pemurnian agama. Orang-orang NU hendaknya memahami ilmu tidak hanya kulitnya saja, tetapi harus seisinya agar Islam yang dianut menjadi Islam yang luwes dan tidak kaku.

Demikian disampaikan KH Ali Shodiqin atau yang kerap dipanggil Gus Ali Gondrong di lapangan Matesih, Kamis malam (5/9) di hadapan ribuan jama'ah Nahdliyin dari dalam pengajian akbar dan sholawat yang diadakan oleh MWCNU Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.

Meskipun lokasi pengajian berada di kaki gunung Lawu yang jauh dari pusat kota, ternyata tidak menyurutkan semangat para jama'ah untuk menghadirinya. Hal tersebut dapat dilihat dari antusias jama'ah yang tidak hanya datang dari wilayah Solo dan sekitarnya. Bahkan ada jama'ah yang datang dari Jogja, Ponorogo dan kota lainnya. 

Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu di daerah Matesih terdapat sekolah yang melarang siswanya untuk hormat bendera. Dan di daerah ini juga pernah muncul berbagai aliran sesat bahkan diawal tahun 2013 lalu digegerkan dengan kemunculan nabi palsu. 

Gara-gara Roti, Seorang Raja Menjadi Sufi



Kisah pertobatan Raja Balkh (Iran) Abu Ishaq Ibrahim bin Adham berawal dari keinginannya untuk berburu. Bersama kuda kesayangannya, Ibrahim menuju hutan dengan penuh gairah. Keadaan berlangsung normal hingga ketenangannya diusik oleh seekor gagak.

Ibrahim sesungguhnya hanya ingin istirahat sejenak. Melepas lelah perjalanan sembari memakan roti. Sialnya, ibrahim tak sempat mencicipi sedikit pun bekal bawaannya itu. Seekor gagak datang tiba-tiba menyambar roti, lalu membawanya terbang ke udara.

Ibrahim yang kaget bercampur kagum itu memutuskan untuk mengikuti ke mana gagak pergi. Si burung hitam meluncur cepat ke arah gunung, hingga Raja Balkh nyaris saja tak menemukannya lagi. Tapi tekad Ibrahim bin Adham untuk menaklukkan segala rintangan gunung membuatnya tak kehilangan jejak.

Tapi gagak tetaplah gagak. Jerih payah sang raja untuk mendekatinya mendapat penolakan. Sekali lagi, gagak mengudara, kabur mengilang entah ke mana. Di saat bersamaan, Ibrahim bin Adham menjumpai seseorang tengah terbaring di tanah dalam keadaan terikat. Segera ia turun dari kuda dan berusaha melepaskannya.
“Ada apa dengan Anda?” tanya Ibrahim bin Adham.

“Saya korban perampokan,” jawab orang tersebut yang ternyata adalah seorang saudagar. Setelah seluruh hartanya dirampas, para perampok hendak membunuhnya dengan cara mengikat dan melantarkan tubuhnya sendirian. Saudagar mengaku, sudah tujuh hari ia terlentang tak berdaya di tempat itu.

“Bagaimana Anda bisa bertahan hidup?”

Saudagar tersebut lantas menceritakan bahwa selama masa-masa sulit itu, seeokor gagak rutin menghampiri, hinggap di atas dada, dan menyodorkan makanan untuknya. Begitulah cara ia mendapatkan tenaga setiap hari.

Peristiwa ini membuka kesadaran Ibrahim bin Adham tentang hakikat rezeki. Ia akhirnya mantab mundur dari jabatan raja, memerdekakan semua budak miliknya, dan mewakafkan segala kekayaannya. Hikayat ini dapat dijumpai secara jelas dalam kitab al-Aqthaf ad-Daniyyah.

Ibrahim bin Adham memilih menjalani hidup sederhana sebagai rakyat biasa. Jalan tasawuf mulai ia tekuni dengan berjalan kaki ke Mekah, tanpa bekal apapun kecuali rasa tawakal yang amat tinggi. Sejak saat itu, olah rohani merupakan kegiatan pokok selama hidupnya.

Ternyata, kisah tentang kegagalan Ibrahim bin Adham mencicipi roti ini berbuntut pada perubahan serius keseluruhan hidup mantan raja Balkh itu. Ibrahim bin Adham akhirnya masyhur sebagai tokoh sufi yang sangat dikagumi. Dalam sumber-sumber Arab dan Persia, seperti Imam Bukhari dan lainnya, ia terkenal sebagai tokoh sufi yang pernah bertemu dengan Nabi Khidzir. 

Kamis, 05 September 2013

Masyarakat Cari Caleg Bertanggung Jawab

Masyarakat Indonesia kini tengah mencari calon legislatif (caleg) yang amanah dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Masyarakat sudah letih dengan kinerja wakil rakyat yang jauh dari harapan.

Demikian dikatakan oleh Katib Am PBNU KH Malik Madani ketika dihubungi NU Online, Selasa (7/5) siang.

“Kita mengharapkan warga negara yang ingin mencalonkan diri nanti memiliki komitmen dan kesadaran tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan tugas dan amanah yang dibebankan kepadanya,” tegas KH Malik Madani.

Tanggung jawab dan amanah itu, lanjut KH Malik Madani, merupakan satu masa'il yang dibahas dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Al-Waqi‘Iyyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, Munas dan Konbes NU di Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, September 2012 lalu.

Komitmen caleg, sambung KH Malik, sering dipertanyakan warga. Lewat aneka media yang berkembang, warga Indonesia lebih mudah memantau calegnya setelah terpilih. Namun, mereka kerap kali dikecewakan wakilnya yang kerap mungkir dari janji yang diumbar saat masa kampanye.

Masalah ini dinilai penting sehingga NU memasukkannya dalam draf pembahasan dengan tajuk “Memilih Calon”. Pembahasan ini bagian dari kontribusi NU dalam mengawal aturan pemilihan wakil rakyat yang berlaku, kata KH Malik Madani. 

Putusan Munas dan Konbes NU itu hanya bersifat seruan moral. NU tidak punya hak untuk melarang warga negara yang memenuhi persyaratan teknis untuk mencalonkan diri. Karena, pencalonan itu menjadi hak warga negara, tambah Kiai Malik.

Selebihnya, NU menyerahkan kepada KPU dan partai yang bersangkutan untuk menyeleksi bakal calon legislatif baik secara prosedur maupun integritas. Masyarakat pun tentunya harus mencermati benar calon legislatif yang akan mewakili aspirasi mereka, tandas KH Malik.

NU Tampil Kembali Bangun Negara

NU sejak lahir tampil sebagai benteng NKRI. Sejarah membuktikan, NU berada di garda depan saat Indonesia tenggelam dalam penjajahan. Dengan segala kemampuanya, ormas Islam ini berjuang membabat habis kaum penjajah.

Demikian dikatakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD di hadapan ribuan pengunjung Tabligh Akbar Safari Majelis Silaturahim Ulama Rakyat (Masyura) di Lapangan Ekoproyo Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (3/9).

“Tetapi setelah Indonesia merdeka, orang-orang NU, kiai-kiai NU dengan ta’dzim-nya (kerendahan hati) rela negara diurus oleh orang lain dan kembali ke basis semula yaitu pesantren. Di sanalah para kiai berkhidmat mengajarkan pondasi agama dan kebangsaan,” tuturnya.

Kini, menurut Mahfud, Indonesia diliputi kebodohan dan kerusakan. Kekuatan NU dibutuhkan untuk memulihkan keadaan ini. “Sekarang saatnya NU tampil kembali untuk membangun negara. Ini bagai pemadam kebakaran,” katanya disambut tawa.

Untuk menyelamatkan negara, sambung Mahfud, harus diawali dengan memilih pemimpin yang baik dan amanah. Memilih pemimpin yang amanah hukumnya wajib. Memilih pemimpin berdasarkan uang dan kepintaran saja hanya akan menghasilkan pejabat yang koruptif.

Pria asal Madura itu tak menampik bahwa kimia politik terus berkembang dan mengalami pergerseran. Namun rakyat yang harus jeli membesarkan bangsa dan negara. “Ini makasudnya kami juga bersilaturhami agar masyarakat bisa memahami apa yang harus dilakukan menghadapi hajat negara yang tidak main-main. Saya katakan sekali lagi sudah saatnya NU itu tampil,” pintanya.

Hasyim Muzadi: Indonesia Semakin Ruwet

Rais Syuriyah PBNU KH Hasyim Muzadi menilai Indonesia tengah berkembang kepada keadaan yang tidak baik. Bukan semakin aman dan sejahtera melainkan sebaliknya. Kerusakan moral pemimpin adalah di antara penyebabnya.

“Indonesia itu semakin ruwet bukan karena kurangnya orang yang pinter tetapi kurangnya orang yang bener,” katanya saat mengisi acara Safari Tabligh Akbar Majelis Silaturahim Ulama Rakyat (Masyura) di lapangan Ekoproyo Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (3/9) .         

Kiai Hasyim mengingatkan, di tengah krisis kepercayaan yang luar biasa, masyarakat mesti lebih selektif dalam memilih pemimpin. Sebab, mereka juga turut menentukan kondisi bangsa ini.

“Sifat pemimpin itu sudah jelas dicontohkan oleh Rasulullah: shidiq (kejujuran), amanah(kepercayaan), tabligh (menyampaikan kebenaran) dan fathanah (kecerdasan). Tapi sekarang shidiq dan amanah itu sudah pergi dari Indonesia,” katanya disambut tawa ribuan pengunjung.

Kenikmatan sementara yang dikaruniakan Allah (isti’raj), sambung Kiai Hasyim, jangan sampai melengahkan bangsa ini sehingga mengarah kepada keterpurukan di belakang hari.

“Kita semuanya berdoa mengahrapkan rahmat dari Allah SWT turun, (untuk) membenahi Indonesia. Bedanya rahmat dengan isti’roj itu apa? Kalau rahmat itu sengsara membawa nikmat tetapi isti’roj itu nikmat membawa sengsara,” pugnkasnya.

Rabu, 04 September 2013

NU Mesti Jadi Teladan bagi Masyarakat Sekitar

Ketua Pegurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Probolinggo KH. Moch Syaiful Hadi mengingatkan kepada jamaahnya untuk tetap menjaga soliditas dan memberikan teladan yang baik bagi masyarakat sekelilingnya.

“Seluruh jajaran pengurus dan anggota NU harus mampu memberikan uswatun hasanah kepada masyarakat di sekitarnya dan menjadikannya sebagai wadah agar anggotanya berkualitas. Jaga terus kebersamaan yang selama ini telah terjalin dengan baik,” katanya dalam acara halal bihalal Majelis Wakil Cabang NU (MWCNU) Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (2/9).

Halal bihalal tersebut diikuti oleh seluruh pengurus MWCNU, lembaga, lajnah dan badan otonom se-Kecamatan Dringu. Hadir pula dalam kesempatan itu Camat Dringu R Achmad Fauzie Effendi dan para ulama yang ada di Kecamatan Dringu.

Seiring dengan terjadinya pergeseran nilai dan perkembangan perubahan zaman, Kiai Syaiful Hadi mengingatkan agar Nahdliyin tidak terbawa pengaruh negatif dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan aqidah.

Ia mengajak untuk menjadikan NU sebagai wahana jihad dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. “Setiap perilakunya harus mencerminkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan jalankan amanah yang telah diberikan sebagai pengurus dengan sebaik mungkin,” tegasnya.

Halal bihalal ini, lanjutnya, sangat penting dalam rangka untuk saling memaafkan dan mempererat tali silaturahim. Dengan halal bihalal berarti manusia sudah siap untuk melupakan kesalahan yang pernah terjadi, siap tidak jadi pendendam dan siap menerima orang yang telah menyakiti kita.

”Semua ini memang berat, tetapi memaafkan harus kita lakukan. Memberi maaf adalah sebuah kebutuhan kita. Dengan kita memaafkan, disamping mendapatkan pahala, hati ini tidak mudah terpancing,” ujarnya.

Menurut Ketua MWCNU Kecamatan Dringu Sugito, kegiatan halal bihalal ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT setelah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan 1434 H sekaligus meraih kemenangan di bulan Syawal 1434 H.

Ditambahkan, halal bihalal ini bisa menjadi sebuah media untuk semakin mempererat tali silaturahim di antara warga NU, khususnya di Kecamatan Dringu. Hubungan yang sempat retak akan kembali utuh dengan halal bihalal ini. “Halal bihalal ini merupakan media mempererat tali silaturahim,” tegasnya.

Haul ke-120 Syekh Nawawi Banten Diperingati

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Cilegon Banten menyelenggarakan Haul ke-120 Syekh Nawawi Albantani di Masjid Mazroatul Akhiroh Desa Ciriu Kecamatan Citangkil, pada Selasa malam (3/9).

Ketua PCNU Cilegon KH Hifdzullah mengatakan, haul tersebut merupakan wasilah (perantara) mengharap barokah serta karomah dari tawassul yang dibacakan untuk Syekh Nawawi. 

Dan yang kedua, kata Kiai Hifdzullah, memberitahukan kepada warga Nahdliyin tentang sosok ulama Banten kaliber internasional. 

“Serta memotivasi para santri untuk giat melastarikan kajian-kajian kitab kuning dan berharap munculnya “nawawi” muda di Kota Cilegon,” tambahnya melalui surat elektronik yang dikirim ke NU Online pada Rabu (4/9).

Apalagi, tambah Hifdzullah, kondisi masyarakat Cilegon saat ini yang terbawa arus kehidupan serba materiaslistis.  

Kemudian, lanjut Kiai Hifdzullah, Walikota Cilegon yang juga Mustasyar PCNU Kota Cilegon Tb. H. Iman Aryadi membacakan Sejarah Hidup Syekh Nawawi Al-Bantani.

Lalu dilanjutkan taushiyah yang disampaikan kiai kharismatik Banten, yaitu KH Abuya Muhtadi Dimyati. Ia  merupakan keturunan Syekh Nawawi Al-Bantani dari arah ibu. 

“Dalam taushiyahnya, beliau beliau mengingatkan ancaman HTI dan FPI yang dianggapnya dua Ormas Islam itu yang akan mengancam keutuhan NKRI,” paparnya.

Pada kegiatan yang dihadiri utusan dari PWNU Banten Endan Musadad tersebut, diserahkan SK NU Ranting Kelurahan Samang Raya Citangkil

NU Mesti Mantab dengan Amalan Ibadah Sendiri

Warga NU tak perlu ragu, apalagi takut, mengamalkan amalan ibadahnya sendiri. Sebab, segenap praktik ibadah yang dicontohkan para ulama terdahulu bukan tanpa landasan syar’i. Pernyataan ini muncul dalam acara bedah kitab Al-Muqtathafat li Ahli Bidayat karangan KH. Marzuki Mustamar di Masjid Darus Salam Desa Dukuhwaru, Ahad (1/9). 

“Tidak mungkin ulama-ulama dulu yang sangat alim seperti mbah Hasyim itu melakukan amal dan kemudian diturunkan kepada murid atau pengikutnnya tanpa dasar yang kuat,” kata Kiai Husni Mubarak., salah seorang narasumber.

Menurut kaia asal Bulakwaru, Kecamatan Tarub, sekarang sedang marak kelompok-kelompok yang mudah mengaku ahlussunnah tetapi sejatinnya ingkar terhadap sunnah. Begitu juga, menuding bid’ah dan sesat pihak lain, tapi tanpa sadar memperkaya diri dengan praktik menyimpang.

“Sudah saatnya kita memberikan pemahaman terhadap akidah kita yang sudah tentu memiliki sanad guru yang tidak bisa diragukan lagi. Untuk itu saya berharap semua warga Nahdliyin senantiasa lebih banyak mengasah ilmu,” pintanya.

Narasumber lain Kiai Abdul Wahid menambahkan bahwa kini banyak orang yang pulang dari pondok pesantren, kuliah atau pergi dari rumah entah kemana, tiba-tiba pulang bergaya selayaknya seorang mujtahid. 

“Jadi tidak gampang kemudian orang itu mengaku dirinya itu sebagai mujtahid, syaratnya harus lulus dulu dari persyaratan. Memang konsep mujtahid sudah jelas diterangkan dalam kitab, dan rumitnya bukan main,” tuturnya.

Ngaji Ilmu Rasa pada Kiai Tarekat

Para kiai yang tinggal di desa-desa hampir tidak pernah disorot media. Publik pun tidak mengetahui pemikiran cendikia mereka yang sangat berharga bak mutiara berkilau di dasar laut.
Hal inilah yang saya rasa tampak dari acara Pengajian Rutin Ahad Pon Alumni Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang, Jawa Timur, Ahad (1/9). Ini adalah pertemuan yang ke-10 sejak dibuka pada akhir tahun 2012 lalu.
Pesantren PPAI An-Nahdliyah didirikan pada tahun 1990, dan diresmikan oleh KH Abdurrahman Wahid. Dua kali Presiden ke-4 Indonesia itu datang ke pesantren yang diasuh Kiai Mohammad Mansyur itu. Dan 3 (tiga) lembaga pendidikan telah berdiri dalam lingkungannya, yakni MTs Nahdlatul Ulama, MA Nahdlatul Ulama dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang.
Sekitar 23 (dua puluh tiga) tahun berdiri, beberapa alumni ingin menyambung tali silaturrahim dan sustain ability keilmuan dengan pesantren ini. Keinginan tersebut akhirnya diwujudkan dalam sebuah program ngaji bareng alumni ini setelah mendapat restu pengasuh.
Pada kesempatan kali ini, Panitia penyelenggara mengundang Kiai Sholichin Rozin untuk membacakan kitab Kifayatul Atqiya’ kepada para Alumni yang hadir. Dan masya Allah...
Saya sangat berkesan sekali menyimak Mustasyar MWC NU Karangploso itu membaca kitab yang ditulis Syaikh Zainuddin bin Ali itu. Terasa benar kedalaman ‘ilmu roso’ nya. Saya merasa telah menemukan oase di tengah panasnya hiruk-pikuk kehidupan dunia yang saya jalani selama ini.
Sebenarnya apa sih yang menarik dari beliau? Secara lahiriyah mungkin tidak ada. Tubuhnya kurus dan tampak renta, wajahnya pun sudah menampakkan ‘kesepuhan’, kecuali bentuk mukanya yang menandakan bahwa semasa muda kiai yang satu ini pastilah lumayan tampan. Suaranya parau, dan hampir saja tidak terdengar meskipun sudah memakai pengeras suara.
Akan tetapi di balik itu, justru sedikit kelemahan-kelemahan itulah yang membuat ia tampak mulia. Dibalik kekurangan itulah justru terlihat keistimewaannya. Tubuhnya yang kurus dan renta itu justru menampakkan kegagahan istiqamah.
Wajahnya yang terlihat tua itu memperlihatkan keteduhan dan kharisma seorang ahli ibadah. Suaranya yang parau tetap memukau para santri yang hadir. Duduk di majlisnya benar-benar telah mendinginkan hati.
Belum lagi pembahasannya, yang ternyata tidak bisa saya sangka. Ternyata kiai yang saat ini menjadi Rais Idaroh Syu’biyah Jam’iyah ahli Thariqah al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Kab. Malang itu benar-benar tidak disangka-sangka. Ia menyinggung masalah kebangsaan dan perlunya orang NU mempunyai posisi di pemerintahan.
Idza ijtama’al halalu wal haromu, ghulibal haram. Jika bercampur perkara halal dan haram maka diputuskan haram. Inilah yang membuat ulama dulu anti berperan dalam pemerintah,” katanya dalam suaranya yang hampir tidak terdengar itu.
“Akan tetapi sekarang, jika peran dalam pemerintahan itu tidak kita ambil, maka akan diambil oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini berlakulah kaidah: Al-hajatu qod tanzilu manzilata dlarurah. Kadang-kadang, kita harus mengambil bahaya itu karena suatu kebutuhan,” terangnya.
Lalu, apakah ini semua menjadikannya aktif dalam kegiatan politik? Jawabannya tidak. Setidaknya setelah saya mewawancarai beliau selepas acara.
“Politik itu telah mengacau balaukan NU, seharusnya, sebagai pengurus NU tidak boleh banter-banter bicara politik. Demi muru’ahnya sendiri,” terangnya.
Benar-benar aneh. Seorang pemimpin tarekat, yang kedalaman spiritualnya tidak diragukan. Di balik akhlaqnya yang agung, wajahnya yang teduh menampakkan kekhusyukan dalam dzikir ternyata bisa berbicara masalah kebangsaan.
Bahkan bukan sekedar berbicara, tapi mendorong. Akan tetapi secara pribadi ia tetap menjaga komitmen menjaga agar NU tidak ‘robek’. Beliau tetap berada di jalurnya sendiri