Jumat, 01 November 2013

Islam Nusantara, Alternatif Baru Kiblat Dunia Islam

Islam nusantara sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam perjalanan peradaban dunia islam, sebab sejarah telah membuktikan bahwa ulama-ulama Nusantara mampu menembus pusat Islam yang ada di Mekkah.

Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta berkomitmen melanjutkan perjalanan para ulama nusantara dengan membentuk Pascasarjana Program Magister Prodi Sejarah Kebudayaan Islam dengan Konsentrasi Islam Nusantara.

Hal ini ditegaskan oleh Direktur Pascasarjana Program Magister STAINU Jakarta, Prof. DR. Ishom Yusqi, MA di Pesantren Ats-Tsaqafah, Ciganjur Jakarta, Jum`at (1/11)

Dalam kesempatan itu Prof. Ishom menyebutkan paling tidak ada empat point penting yang membuat Islam Nusantara perlu digemakan, ia memulainya dengan kondisi Timur Tengah yang saat ini dilanda konflik.

“Timur Tengah sedang dilanda krisis politik, kita tidak bisa mengandalkan Timur Tengah, Iran? Iran belum sepenuhnya diterima masyarakat Islam dunia, nah Islam Nusantara ini diharapkan bisa menjadi inspirasi dan mampu menjadi alternatif kiblat dan kebanggaan dunia Islam, Mesir itu Negara Islam paling produktif menulis dibandingkan yang lain, kalau konfliknya tidak selesai apa lagi sampai hancur-hancuran, habis peradaban Islam itu,” tegasnya

Kedua, lanjut Prof. Ishom, saat ini organisasi transnasional sudah mulai tumbuh dan berkembang, jika hal ini tidak dibendung dampaknya adalah akan mengikis habis nilai-nilai kenusantaraan yang sudah ditanam oleh para pendiri bangsa Indonesia.

“Dulu ada transnasional di Indonesia, PKI (Partai Komunis Indonesia), tapi kemudian saat itu bergejolak, nah sekarang ada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sudah masuk ke lapisan masyarakat bawah sampai atas, melalui halaqah-halaqah, masuk ke sekolah-sekolah dan kampus, buku, demokrasi itu sistem kafir, taghut dan seterusnya, padahal ulama nusantara sudah sepakat bahwa Indonesia itu tidak perlu daarul islam, tapi darusalam,” imbuhnya

Selain HTI, Prof. Ishom pun menyebut Ikhwanul Muslimin yang sudah masuk ke Indonesia dengan “chasing” yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari referensi atau bacaan wajib mereka, yaitu bukuMa’tsurat-nya Hasan Al-Bana.

Selanjutnya Prof. Ishom menyebutkan point ketiga pada unsur empat pilar (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) yang saat ini berada dalam ancaman kelompok yang hendak membuang dan menggantinya dengan ideologi dan ajaran yang dibawa oleh mereka.

Terakhir, Prof. Ishom menyebutkan ciri-ciri dan Islam Nusantara, yaitu Keindonesiaan, Keislaman dan Keaswajaan dengan prinsip attasamuh, attawasuth, al-I’tidal dan attawazun.

“Islam Nusantara itu orang Indonesia yang beragama Islam, Identitas Indonesianya ditunjukan, jangan kemudian belajar ke Arab, Yaman, Pakistan dan lainnya, Indonesianya jadi hilang, kalau tinggalnya disana ya tidak apa-apa, tapi kalau KTP-nya masih Indonesia ya tidak bisa, tidak bisa meng-Arab-kan Indonesia, Me-Yaman-kan Indonesia atau mem-Pakistan-kan Indonesia, jadi mesti meng-Indonesia. Begitu juga sebaliknya, jangan kemudian pulang dari Inggris atau Eropa disini cium pipi kanan-kiri, dan sebagainya” ungkapnya

Untuk itu Islam nusantara ini mesti bangkit dan terus dikaji, Prof. Ishom pun mengakui bahwa sebenarnya umat Islam Indonesia yang berkualitas dan produktif cukup banyak jumlahnya, namun kendala yang dihadapi adalah Bahasa Indonesia tidak diakui PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai bahasa Internasional, berbeda dengan Bahasa Arab yang diakui oleh PBB sebagai bahasa Internasional, namun kendala itu tidak terlalu mengganggu untuk membangkitkan Islam Nusantara ini. (Aiz Luthfi/Anam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar