Rabu, 04 September 2013

Ngaji Ilmu Rasa pada Kiai Tarekat

Para kiai yang tinggal di desa-desa hampir tidak pernah disorot media. Publik pun tidak mengetahui pemikiran cendikia mereka yang sangat berharga bak mutiara berkilau di dasar laut.
Hal inilah yang saya rasa tampak dari acara Pengajian Rutin Ahad Pon Alumni Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang, Jawa Timur, Ahad (1/9). Ini adalah pertemuan yang ke-10 sejak dibuka pada akhir tahun 2012 lalu.
Pesantren PPAI An-Nahdliyah didirikan pada tahun 1990, dan diresmikan oleh KH Abdurrahman Wahid. Dua kali Presiden ke-4 Indonesia itu datang ke pesantren yang diasuh Kiai Mohammad Mansyur itu. Dan 3 (tiga) lembaga pendidikan telah berdiri dalam lingkungannya, yakni MTs Nahdlatul Ulama, MA Nahdlatul Ulama dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang.
Sekitar 23 (dua puluh tiga) tahun berdiri, beberapa alumni ingin menyambung tali silaturrahim dan sustain ability keilmuan dengan pesantren ini. Keinginan tersebut akhirnya diwujudkan dalam sebuah program ngaji bareng alumni ini setelah mendapat restu pengasuh.
Pada kesempatan kali ini, Panitia penyelenggara mengundang Kiai Sholichin Rozin untuk membacakan kitab Kifayatul Atqiya’ kepada para Alumni yang hadir. Dan masya Allah...
Saya sangat berkesan sekali menyimak Mustasyar MWC NU Karangploso itu membaca kitab yang ditulis Syaikh Zainuddin bin Ali itu. Terasa benar kedalaman ‘ilmu roso’ nya. Saya merasa telah menemukan oase di tengah panasnya hiruk-pikuk kehidupan dunia yang saya jalani selama ini.
Sebenarnya apa sih yang menarik dari beliau? Secara lahiriyah mungkin tidak ada. Tubuhnya kurus dan tampak renta, wajahnya pun sudah menampakkan ‘kesepuhan’, kecuali bentuk mukanya yang menandakan bahwa semasa muda kiai yang satu ini pastilah lumayan tampan. Suaranya parau, dan hampir saja tidak terdengar meskipun sudah memakai pengeras suara.
Akan tetapi di balik itu, justru sedikit kelemahan-kelemahan itulah yang membuat ia tampak mulia. Dibalik kekurangan itulah justru terlihat keistimewaannya. Tubuhnya yang kurus dan renta itu justru menampakkan kegagahan istiqamah.
Wajahnya yang terlihat tua itu memperlihatkan keteduhan dan kharisma seorang ahli ibadah. Suaranya yang parau tetap memukau para santri yang hadir. Duduk di majlisnya benar-benar telah mendinginkan hati.
Belum lagi pembahasannya, yang ternyata tidak bisa saya sangka. Ternyata kiai yang saat ini menjadi Rais Idaroh Syu’biyah Jam’iyah ahli Thariqah al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Kab. Malang itu benar-benar tidak disangka-sangka. Ia menyinggung masalah kebangsaan dan perlunya orang NU mempunyai posisi di pemerintahan.
Idza ijtama’al halalu wal haromu, ghulibal haram. Jika bercampur perkara halal dan haram maka diputuskan haram. Inilah yang membuat ulama dulu anti berperan dalam pemerintah,” katanya dalam suaranya yang hampir tidak terdengar itu.
“Akan tetapi sekarang, jika peran dalam pemerintahan itu tidak kita ambil, maka akan diambil oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini berlakulah kaidah: Al-hajatu qod tanzilu manzilata dlarurah. Kadang-kadang, kita harus mengambil bahaya itu karena suatu kebutuhan,” terangnya.
Lalu, apakah ini semua menjadikannya aktif dalam kegiatan politik? Jawabannya tidak. Setidaknya setelah saya mewawancarai beliau selepas acara.
“Politik itu telah mengacau balaukan NU, seharusnya, sebagai pengurus NU tidak boleh banter-banter bicara politik. Demi muru’ahnya sendiri,” terangnya.
Benar-benar aneh. Seorang pemimpin tarekat, yang kedalaman spiritualnya tidak diragukan. Di balik akhlaqnya yang agung, wajahnya yang teduh menampakkan kekhusyukan dalam dzikir ternyata bisa berbicara masalah kebangsaan.
Bahkan bukan sekedar berbicara, tapi mendorong. Akan tetapi secara pribadi ia tetap menjaga komitmen menjaga agar NU tidak ‘robek’. Beliau tetap berada di jalurnya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar