Sabtu, 15 Juni 2013

Mutu Pesantren, Masih diperlukan

Terdapat tiga corak lembaga pendidikan yang terdapat di Indonesia selama ini.
Pertama, modern, yakni lembaga yang memadukan antara sistem pesantren dengan pendidikan sekolah.
Kedua, tradisional, dimana lembaga ini hadir tanpa silabus dan standar kompetensi yang jelas untuk mengukur kemampuan lulusannya.
Ketiga, sekolah umum, dimana pendidikan agama sangat minim di dalamnya.

Demikian disampaikan Risan Nuri, selaku pembicara dalam diskusi rutin malam Jum’at di Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta, Kamis (13/6). Diskusi yang mengusung tema Pendidikan Pesantren Terpadu itupun terlihat begitu aktif dengan antusisme tinggi para peserta.

Realitas menunjukkan selama ini masih terdapat anggapan adanya eksklusivisme antara dunia pesantren dan pendidikan formal, dengan menganggap bahwa ilmu dunia tidak begitu penting di pesantren, karena tidak dibawa ke akhirat. Begitupun sebaliknya, pendidikan agama juga dianggap tidak begitu penting dalam pendidikan formal.

“Dikotomi antara pesantren dengan pendidikan formal haruslah dihapuskan. Ke depan, keduanya haruslah bersinergi,” tutur Risan.

Menghadapi permasalahan klasik yang muncul di pesantren selama ini, yakni belum adanya standar kurikulum dan penjaminan mutu yang disepakati secara regional maupun nasional oleh kalangan pesantren sendiri, maka ia pun mengungkapkan gagasannya tentang tiga hal demi peningkatan kualitas pesantren. Ketiga hal tersebut adalah standar kompetensi, evaluasi mutu pesantren dari berbagai standar, dan akreditasi pesantren.

“Cita-cita kita adalah melahirkan generasi yang brilian sekaligus berakhlak mulia, maka kita tidak boleh saling menyepelekan. Karena jika keduanya saling berpadu, maka akan menjadi semakin kuat,” tandas sosok yang sekaligus dosen UGM malam itu.

Ia memberikan contoh beberapa ulama’ yang sekaligus menjadi cendekiawan, seperti Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan di Indonesia adalah Sunan Kalijaga. “Meskipun tidak ada ijazahnya, beliau – Sunan Kalijaga – bisa membuat wayang dan tembang. Dan dengan adanya beliaulah Islam di tanah Jawa bisa terakomodir,” kata Risan.

“Bagaimanapun, diukur itu perlu, sebelum kita diukur oleh masyarakat,” pungkas Risan di akhir diskusi.

Kiai Mustafied, selaku direktur Pesantren Aswaja Nusantara mengungkapkan bahwa standar mutu di pesantren memang perlu. “Dengan adanya penjaminan mutu pendidikan, maka secara kelembagaan kualitas input, proses, dan output pendidikan pesantren terkawal, sistemik, dan semakin lama semakin baik, sehingga bisa menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat,” ungkap Kiai Tafied.

“Pesantren Aswaja sudah mulai menerapkan kebijakan mutu secara internal, baik dalam kualitas lulusan, pengelolaan sumber daya pengajar, staf administrasi, hingga kepemimpinan,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar