Kamis, 29 Agustus 2013

Sunan Geseng Ki Cokrojoyo

Tuban sebagai Kota Wali ini, dari penuturan tokoh dan masyarakat setempat yang menjelaskan hal ini dikarenakan banyaknya wali yang dilahirkan, pernah bermukim atau dimakamkan di kota pesisir pantai utara ini. Sebut saja Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan lain sebagainya. Juga karena banyaknya pesantren berdiri yang berdiri di tanah Tuban.
Sebelum disebut sebagai daerah wali, Tuban pernah pula disebut sebagai Bumi Ranggalawe (merujuk pada tokoh pada zaman sebelum Majapahit yang bernama Ranggalawe). Bahkan pernah juga disebut sebagai Kota Tuak, karena memang terkenal sebagai penghasil minuman tuak.
Namun, beberapa tahun belakangan, sejak tampuk pimpinan Bupati dipegang oleh tokoh dari kalangan pesantren, KH Fathul Huda, trademark sebagai Kota Wali kembali dimunculkan. Hingga sekarang, daerah ini menjadi salah satu destinasi utama rombongan ziarah Walisongo dari berbagai penjuru Tanah Air.
Makam di Tengah Hutan
Perjalanan di Tuban dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, yakni dua hari. Dimulai dari daerah Alas Pakah, sekitar 7 Km dari kota. Di daerah antara Pakah dan Palang, terdapat sebuah makam, yang masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Sunan Geseng.
Sunan Geseng ini adalah murid dari Sunan Kalijaga. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Kyai Cokrojoyo karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (Jawa : geseng).
Untuk menuju ke makam, kami harus masuk sedikit ke dalam area hutan, di mana jalan menuju lokasi masih dipenuhi dengan rimbunnya pohon-pohon jati dan pepohonan besar lainnya. Sampai di kompleks makam yang masuk dalam kawasan Desa Gesing Kecamatan Semanding, akan ada pelataran yang cukup luas. Di tempat tersebut hanya ada dua bangunan utama, masjid dan makam yang terletak di sebelah baratnya.
Sampai di makam, terdapat gapura yang bernuansakan seperti masuk ke sebuah pura, bertuliskan Makam Sunan Geseng. Di sana kami bertemu dengan Sutaji, sang penjaga makam. Dia menjelaskan sedikit banyak tentang bangunan itu. Kompleks makam kemudian direnovasi mulai tahun 1985-an. Dananya diperoleh dari masyarakat sekitar dan peziarah yang ikut membantu. “Bangunan pertama dulu cuma patok (makam), belum seperti sekarang, Mas,” kata Sutaji yang sedang ditemani dua istrinya.
Masuk ke dalam ruangan makam, terdapat penerangan 4 lampu dan satu lampu di atas makam. Di ruangan tersebut terdapat dua makam, yakni makam Sunan Geseng. “yang sebelahnya itu istrinya, namanya Siti Zubaedah,” terang Sutaji.
Masing-masing makam panjangnya kurang lebih 2 m. Di sekelilingnya terdapat pagar kayu sehingga para peziarah tidak dapat memegang langsung makam.
Pada saat kami berziarah, terdapat beberapa rombongan peziarah, yang diantaranya mengaku datang dari Lamongan. Pemimpin rombongan tersebut, Suwandi, mengaku pada hari itu mereka sudah berziarah ke makam para wali, dinataranya Sunan Ampel dan Sunan Lamongan. Rencananya setelah itu mereka juga akan ke makam Sunan Bonang.
Setiap harinya memang terdapat banyak peziarah yang datang ke makam Sunan Geseng. Mereka kebanyakan datang dari daerah Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Para peziarah ada yang datang dengan menaiki motor adapula yang datang rombongan dengan menaiki bus. Mereka terus berdatangan, padahal mereka tahu bahwa di daerah lain juga terdapat makam dengan nama yang sama.
Ya, seperti juga makam aulia yang lainnya, makam ataupun juga petilasan Sunan Geseng ini, di beberapa tempat lainnya diyakini sebagai makamnya. Selain di Desa Gesing ini, ada pula di Kediri, Purworejo, Pati yang berada di Pegunungan Kendeng utara dan lain-lain. Dan tentunya setiap daerah tersebut masyarakatnya meyakini bahwa makam Sunan Geseng tersebut bersemayam.
Belum sampai satu jam kami di tempat itu, senja telah tiba. Waktunya untuk segera bergegas melanjutkan perjalanan, agar kami tidak kemalaman di tengah hutan Pakah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar