Jumat, 11 Oktober 2013

Bahaya Ideologi Transnasional

Ideologi  transnasional dinilai tekstual dan melihat permasalahan secara hitam putih, kaku, gemar mengkafirkan, dan cenderung menggerogoti empat pilar bangsa Indonesia, yakni Pancasila, Bhinnneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945

Keberadaan ideologi transnasional terus mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, menghadapi sejumlah gerakan transnasional itu masyarakat diharapkan menanggapinya dengan cara yang tepat.

“Yang harus dilakukan adalah melawan mereka dengan logika ilmu,” kata Yusuf Suharto, pembicara pada Pelantikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas KH Abdul Wahab Hasbullah (Unwaha) dan bedah buku “HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia” karya DR Zuly Qodir di kampus Unwaha Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Senin (7/10).

Menurut dosen Universitas Darul Ulum Jombang ini, penguatan keilmuan merupakan cara paling tepat. Sedangkan perlawanan fisik, apalagi disertai pengerahan massa, justru akan berdampak sebaliknya alias menguntungkan kelompok ini.

Di hadapan ratusan mahasiswa dan pegiat Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) se-Kabupaten Jombang, Yusuf mengajak pelajar untuk meningkatkan komunikasi dengan sejumlah kiai, ulama dan tokoh cendekiawan yang memiliki pemahaman Islam secara baik dan benar.

“Para kiai dan ulama telah memperjuangkan bentuk negara kita pada sidang konstituante,” kata dosen Universitas Darul Ulum Jombang ini. Dengan kebesaran hati dan kesadaran akan beragamanya suku, agama dan ras di negeri ini, para kiai yang terhimpun dalam Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya lebih memilih NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Dengan mengutip pandangan KH Ahmad Shiddiq, direktur PC Aswaja NU Center Jombang ini mengatakan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak akan bisa menggantikan agama. Namun negara Pancasila adalah upaya final bagi umat Islam Indonesia untuk mendirikan negara.

Pada kesempatan tersebut, Yusuf juga membandingkan apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW yang lebih menggunakan Piagam Madinah dalam menata masyarakat. “Nabi tidak memilih negara Islam karena sadar dengan keragaman yang ada di Madinah saat itu,” terang Yusuf.  Karena itu, para penganut agama Yahudi, Nasrani tetap dihargai keberadaannya untuk hidup damai di Madinah.

Demikian juga saat para sahabat menjadi pemimpin, tidak menggunakan Islam sebagai bentuk  negara. Sejumlah suksesi kepemimpinan juga menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat saat itu.

Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya DR Ainur Rofik Al-Amin yang juga tampil sebagai pembicara menandaskan bahwa Pancasila dan NKRI sangat bergantung kepada bangsa Indonesia bagaimana mengisinya. “Kalau diisi dengan baik, maka yang akan tampil adalah nilai dan bentuk yang juga baik,” ujarnya.

Karena itu kalau kemudian ada sejumlah peraturan yang bernafaskan Islam, itu adalah sumbangsih dari para penentu kebijakan yang dilandasi oleh agama. “Lahirnya UU zakat, perkawinan, perwakafan dan sebagainya adalah kontribusi positif dari para anggota legislatif yang memiliki komitmen kuat dalam mewarnai perundangan di negeri ini,” terangnya.

NU dan Muhammadiyah serta organisasi sosial keagamaan yang ada telah memberikan sumbangsih yang besar bagi eksistensi negeri ini. “Bandingkan dengan HTI dan ideologi lain yang datang pasca kemerdekaan. Mereka tidak berkontribusi positif bagi negeri ini, bahkan cenderung memperkeruh keadaan,” lanjutnya.

Ideologi  transnasional dinilai tekstual dan melihat permasalahan secara hitam putih, kaku, gemar mengkafirkan, dan cenderung menggerogoti empat pilar bangsa Indonesia, yakni Pancasila, Bhinnneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

“Karena itu, sudah seharusnya para generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa mewaspadai gerakan ini demi terjaganya keutuhan bangsa,” pungkasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar