Kamis, 10 Oktober 2013

Mbah Mangli, Mursyid Kharismatik

Pondok Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh pesantren ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban.

Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera.
 
Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
 
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75) warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok.
 
Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
 
Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks (MMC).
 
”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi.
 
Dusun Mangli terletak di persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.
 
Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
 
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.

Secara khusus Mbah Mangli mendidik para santrinya di sebuah pesantren sederhana di lereng gunung Andong. Tempat pesantren itulah yang kemudian dikenal sebagai desa Mangli yang terletak di perbatasan kecamatan Grabag dan Ngablak, kurang lebih 25 km arah timur laut kota Magelang. Mbah Mangli merupakan salah satu penganut tarekat Nahsyabandiyyah.

Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.

Didikan Sang Ayah

Mbah Mangli atau Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur.

Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.

Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya.

Masih di antara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah: Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga.

Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan di warung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing.

Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama.

Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.

Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
 
Di bawah bayang pohon pinus dengan kesejukan hawa dingin pegunungan dan dalam suasana hening diharapkan para santri dapat membiasakan diri berpikir dengan kepala dingin, bukan dengan ledakan nafsu dan amarah. Kejernihan mata air Mangli dipercaya dapat menjernihkan hati dan pikiran para santri agar mampu menjadi manusia yang jernih dalam berpikir, berucap dan bertindak sesuai dengan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad.

Ketenaran pesantren Mangli menebar ke seantero Nusantara. Hal ini terbukti dengan beragam asal usul para santri yang menuntut ilmu. Santri dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Pasundan, Sumatera hingga Kalimantan, bahkan Sulawesi banyak yang kerasan berguru kepada Mbah Mangli.

Selain mendidik umat lewat pesantren, Mbah Mangli juga aktif melakukan dakwah dan syiar agama Islam ke berbagai wilayah. Di desa Mejing wilayah kecamatan Candimulyo, bahkan Mbah Mangli secara khusus menggelar pengajian rutin bertempat di sebuah langgar atau surau yang dikenal sebagai langgar Linggan. Berbagai kalangan umat Islam datang berbondong-bondong untuk mendengarkan nasehat dan petuah kiai kharismatik tersebut dengan penuh kekhidmatan.

Pengajian di masa lalu memang hampir tanpa sentuhan teknologi canggih seperti zaman sekarang. Jangankan peralatan perekam maupun dokumentasi foto, sekedar pengeras suara pun masih jarang bisa dijumpai. 

Kita bisa bayangkan seperti apakah suasana pengajian akbar tanpa pengeras suara? Namun inilah salah satu kasekten Mbah Mangli sebagaimana diceritakan sebagian orang. Konon meskipun tanpa pengeras suara, seluruh jamaah pengajian yang hadir di tempat pengajian, apakah di sebuah masjid ataupun di sebuah lapangan terbuka, selalu dapat mendengar tausiyah Mbah Mangli dengan jelas dan terang. Meskipun jumlah jamaah ratusan, bahkan ribuan orang, dari berbagai posisi yang dekat hingga terjauh dapat mendengar suara Mbah Mangli.
 
Konon lagi pada saat pengajian bubar, selepas mengucap salam penutup, Mbah Mangli langsung dapat berjalan dengan kecepatan kilat meninggalkan arena pengajian untuk berpindah medhar sabdo di tempat lain. Konon pula Mbah Mangli setiap hari Jumat selalu ngrawuhi sholat Jumat di Masjidil Haram. Inilah yang disebut sebagai ilmu melipat bumi, dalam sakedeping mata bisa berpindah tempat di berbagai penjuru dunia.

Keistimewaan Mbah Mangli yang lain, ia dapat mengetahui maksud setiap jamaah yang datang, apa permasalahan mereka dan langsung dapat memberikan nasehat dengan tepat sasaran. Pernah seorang jamaah datang ke pengajian dengan membawa uang ibunya yang semestinya dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangganya. Di tengah pengajian, Mbah Mangli langsung menyindir orang tersebut dan menasehatinya agar uang tersebut dikembalikan dan ia segera memohon maaf kepada ibunya tersebut.
 
Pernah juga seorang tamu datang ke pesantren Mbah Mangli. Sejak dalam perjalanan sang tamu tersebut sudah membayangkan mendapatkan suguhan buah jeruk yang sangat ranum dan menghilangkan rasa dahaganya selepas menempuh perjalanan jauh. Dan sesampainya di tempat Mbah Mangli, apa yang ia dapatkan? Mbah Mangli benar-benar menyuguhinya dengan hidangan jeruk keprok yang sangat segar. Pucuk dicinta ulampun tiba!

Sifat istikomah Mbah Mangli dalam menyikapi perkembangan teknologi tergolong sangat unik. Beliau tidak pernah menggunakan pengeras suara maupun peralatan listrik dalam setiap kegiatan di pondok pesantrennya. Dalam acara pengajian maupun khotbah jumat tidak pernah ada pengeras suara, hal ini masih tetap dilestarikan hingga kini. Penggunaan listrik hanya terbatas untuk penerangan kegiatan belajar mengajar.

Adapun radio dan televisi, apalagi handphone dan internet, sama sekali tidak menyentuh pesantren Mbah Mangli. Kini sosok Mbah Kiai Mangli memang sudah wafat pada akhir tahun 1997, namun pengajian Ahad pagi yang digelar di pesantren beliau tetap berlangsung rutin di bawah asuhan salah seorang menantu beliau, dan masih ratusan jamaah hadir menimba ilmu.
 
Di zaman itu memang seorang kiai benar-benar diyakini sangat karib dengan Gusti Allah, sehingga ia benar-benar berkedudukan sangat istimewa bahkan dipercaya sebagai waliyullah. Maka tak heran doa seorang ulama kharismatik dipercaya sangat makbul dan mujarab. 

Inilah barangkali magnet daya tarik sehingga umat mau mendekat, mendengar setiap nasihat penuh khidmat, dan kemudian berujung kepada pengamalan ajaran agama dengan penuh kemantapan rasa iman dan ketaqwaan. Inilah kunci ketentraman jiwa, lahir dan batin yang akan berdampak luas terhadap ketentraman serta keguyuban masyarakat, bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar