Kamis, 10 Oktober 2013

Demokrasi Kebablasan Picu Konflik Agama

Bergulirnya era reformasi tidak hanya membawa “berkah” bagi akselerasi demokrasi di Indonesia, tapi juga menyelipkan  duri bagi perjalanan hidup kebangsaan. Sebab, reformasi sering diartikan sebagai kebebasan berekspresi dari keberagamaan tanpa ada batasan. 

Hal tersebut dikemukakan Ketua MUI Jember, Prof H Abdul Halim Subahar saat menjadi narasumber dalam dialog interaktif yang dihelat PC. Fatayat NU Jember di aula PCNU Jember, Kamis (10/10). 

Menurut Halim, akibat dari ekspresi keberagamaan yang tanpa batas itu, memunculkan gesekan-gesekan baik antar umat satu agama maupun antara umat beragama. 

“Sebab, menghina dan mencaci umat lain dianggap biasa, dan ini yang terjadi pasca reformasi,” ujarnya.

Halim menambahkan, terjadinya konflik horisontal yang berlatar paham keagamaan juga tak lepas dari euphoria kebebasan yang kebablasan itu. Misalnya, salah satu kelompok dengan seenaknya mencaci apa yang menjadi perilaku keagamaan kelompok lain, atau  menghina junjungan kelompok lain, sehingga akhirnya terjadi saling ejek, dan disitulah api konflik tersulut. 

“Ini yang terjadi di Puger, meskipun ada teori lain bahwa itu ibarat petasan. Ledakannya di Puger tapi sumbunya bisa berada di tempat lain,” lanjutnya. 

Selain Prof Halim, dialog interaktif yang mengusung tema “Peningkatan Toleransi dan Kerukunan dalam Kehidupan Beragama” itu, juga dihadiri oleh Drs H Afton Ilman Huda dan I Nengah Sukarya dari Forum Kerukunan Umat Beragama ( FKUB) Kab. Jember.

Acara dihadiri 125 orang, yang merupakan utusan dari Pengarus Cabang, Anak Cabang dan Ranting Fatayat NU. ”Acara ini sebagai upaya untuk mewujudkan  Islam Rahmatan lil alamiin.Karena realitas di lapangan konsep tersebut belum terlaksana dengan baik. Buktinya masih banyak kasus dan konflik yang yang berlatar keagamaan,” ujar Ketua PC. Muslimat NU Jember Hj Mukniah saat memberikan sambutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar