Kamis, 17 Oktober 2013

NU Kerap Dijadikan Tumbal Politik Praktis

Muktamar memang perhelatan lima tahunan yang memiliki wewenang tertinggi di organisasi NU. Namun siklus lima tahunan pemilu tampaknya jauh lebih digdaya. NU sering hanya menjadi korban dari syahwat politik sekelompok orang.

”Skenario besar semacam ini adalah proyek dengan NU sebagai tumbalnya,” demikian bunyi draf rancangan Bahtsul Masail Nasional yang akan digelar Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap, Jawa Tengah, 8-9 Mei 2013.
LBMNU menilai penting mengangkat isu ”Pasang Surut Peran Politik NU” setelah menyaksikan sejumlah dampak merugikan yang dialami NU ketika sekadar menjadi mesin pendulang suara. Selain presentase suara yang terbukti tidak meningkat, sikap ini secara organisasi menyalahi Khittah 1926 sebagaimana digariskan para pendiri.
Karena itu, untuk menjernihkan persoalan, Bahtsul Masail Nasional nanti akan menjawab tiga pertanyaan. Pertama, bagaimanakah peran politik Nahdliyin selama ini, dan bagaimana plus-minusnya? Kedua, bagaimana merumuskan Khittah NU yang tepat agar tidak multitafsir sehingga dapat membentengi NU dari ”godaan” berpolitik praktis? Ketiga, apa solusi terbaik atas persoalan peran politik NU, sehingga dapat menjadikan NU lebih baik ke depan?
Menurut Ketua Pengurus Pusat LBMNU KH Zulfa Mustafa, selain beberapa kiai dari PBNU, forum bahtsul masail akan diikuti sekitar 200 ulama utusan Pengurus Wilayah NU (PWNU) se-Pulau Jawa dan Pengurus Cabang NU (PCNU) se-Jawa Tengah.
Tak hanya fokus pada wacana politik, LBMNU akan menyoroti soal ”Sikap NU terhadap Aksi Takfirdan Tadl-lil (tuduhan kafir dan sesat) Kaum Wahabi” dan ”Penggunaan Dana Optimalisasi Setoran Haji”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar