Kamis, 17 Oktober 2013

Perjuangan Politik NU Tak Harus Melalui Partai

Dalam lintasan sejarah, NU memiliki peran politik yang sangat signifikan. Kenyataan ini dibuktikan dengan kiprah organisasi para kiai ini dalam mempengaruhi kebijakan publik secara nasional maupun internasional. Peran ini justru banyak terjadi ketika NU di luar jalur partai.
Pandangan ini disampaikan Ketua PBNU H Imam Azis dalam sesi diskusi Bahtsul Masail Nasional yang digelar Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) di Pondok Pesantren al-Ihya’ Ulumaddin Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (8/5) malam.
Imam menunjukkan fakta perjuangan NU pra-kemerdekaan hingga menjelang NU menjadi partai politik pada 1952. Saat itu para kiai mampu mengintervensi kebijakan kolonial Belanda dan Jepang, hingga terlibat dalam proses-proses menentukan pembentukan dan penyelenggaraan Republik Indonesia bersama jaringan yang dimiliki.
”Jadi, kalau NU ingin berperan secara politik, jalurunya tidak harus melalui partai,” tegasnya. Menurut Imam, NU pasca menjadi partai memang memiliki kantong suara yang cukup menjanjikan, tapi, produktivitasnya menurun hingga akhirnya kembali ke khittah pada 1984.
Di era demokrasi pascareformasi, lanjut Imam, NU berada di dalam ancaman ”pusaran uang” yang sangat kencang. Independensi organisasi sosial-keagamaan ini ditantang untuk konsisten menjadi motor perubahan meski tanpa kendaraan partai. Di jalur non-partai, NU dapat memerankan politik secara lebih luas.
”Artinya apa? Partai politik itu bukan keniscayaan bagi NU,” tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar